Selasa, 28 Juni 2016

Problem-problem Epistemologi dalam Filsafat Agama


Setelah mengetahui dan memahami makna epistimologi, filsafat dan agama baik secara terpadu ataupun terpisah, maka tidak dapat terpungkiri bahwa ada saja permasalahan-permasalahan yang muncul didalamnya. Adapun perihal yang ingin dibahas sekarang adalah masalah epistemologi dalam filsafat agama.
Telah terketahui bahwa secara sederhana epistemologi adalah teori pengetahuan. Dalam hal ini ia membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi yaitu pertama apa yang dapat diketahui (teori dan isi ilmu), dan yang kedua bagaimana mengetahuinya (metodologi).
Pengkajian terhadap epistemologi dalam filsafat agama sangatlah penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif yaitu “Kangker Epistemologi”. Kangker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (Critical Power), serta telah mengakibatkan kegagalan akal (Intelellectual failure), yang pada pada gilirannya dapat mengerogoti keyakinan sehingga menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengindap kangker ini diantaranya suka berkata: Di dunia ini, kita tidak pernah tahu kebenaran absolute, yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan kecil, kebenaran itu relative, agama itu mutlak sedangkan pemikiran keagamaan itu relative, semua agama benar dalam porsinya masing-masing dan yang lainnya.
Proses awal munculnya ungkapan-ungkapan tersebut dapat terketahui melalui perkembangan zaman Yunani Kuno. Pada zaman ini terlahir suatu aliran yang bernama sofisme. Menurut kaum ini, semua kebenaran itu relative dan ukuran kebenaran ialah manusia (man is the measure of all things). Hal ini dikarena manusia itu berbeda-beda, sehingga kebenarannya pun berbeda-beda. “Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak”, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis. Adapun akibat yang ditimbulkan ialah terjadi semacam kekacauan kebenaran yaitu semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama dicurigai, sehingga manusia hidup tanpa pegangan kebenaran dan hal itu telah menyebabkan manusia terasing didunianya sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul pula pendapat Socrates yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles yang mengatakan bahwa tidak semua kebenaran itu relative tetapi ada kebenaran umum yang mutlak benar bagi siapapun, yaitu kebenaran idea dan definisi. Kemudian muncul lagi sofisme klasik yang terlahir kembali pada zaman modern dengan nama skeptisisme. Seorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Bagi mereka pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i[1] dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap yang lebih ekstrim mereka mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa di cari dan di dekati, tetapi mustahil untuk ditemukan.
Setelah kaum skeptis, kemudian muncul pula kaum relativis, yaitu kaum yang menganggap bahwa semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Sehingga jika skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralisme agama.
Inti dari ketika golongan tersebut (sofisme, skeptisme, dan relativisme) menyebutkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, maka dalam berbagai tempat Allah Swt. mengingatkan bahwa hidup ini akan selalu ada dua pilihan, yaitu haqq dan bathil, Benar (shawab) dan keliru (Khata’). Sehingga dalam hal ini mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Suatu ilmu dapat diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Jujun S Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama, mendasarkan diri kepada rasio (logis) dan kedua, mendasarkan diri kepada pengalaman (empiris). Kerjasama rasionalisme dan empirisme akan melahirkan metode sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Kemudian, kerjasama antara rasionalisme dan empirisme ini juga dapat melahirkan paham positivisme, yaitu paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat terukur, seperti panas di ukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan meteran, dan berat di ukur dengan timbangan.
Selanjutnya, selain pengetahuan rasionalisme dan empirisme terdapat pula pengetahuan yang lain yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah secara tiba-tiba ia menemukan jawaban atas permasalahan tersebut, tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku. Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya disetiap zaman.
Menurut Jujun, Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian. Pengetahuan ini berdasarkan kepercayaan akan hal-hal yang ghaib (supranatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis dan empiris.
Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh- tokoh agama; di dalam Islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya bersih, maka ia telah bersiap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih fokus pada ilham yang diturunkan Allah Swt. kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.
Pemikiran al-Nasafi juga menyatakan bahwa terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shaqiq). Sedangkan menurut ibnu Taimiyyah, terdapat tiga yang pokok dalam saluran-saluran pengetahuan yaitu khabar, akal dan indera yang kemudian dibagi lagi kepada indera lahir (panca indera) dan indera bathin (intuisi hati).
Menurut Ibu Thufail terdapat dua jalan dalam objek pengetahuan yaitu wahyu dan filsafat dengan menggunakan akal sebagai pengolahnya dan panca indera yang menangkap sumber pengetahuan dari pengalaman.[2]
Menurut Al-Ghazali, sumber pengetahuan ada tiga yaitu panca indera, akal dan wahyu (intuisi). Akan tetapi dalam hal ini Al-Gahazali lebih menekankan kepada intuisi dalam menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya yaitu kenenaran yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.[3]
Al-Ghazali membagi ilmu dari aspek tujuan pada syar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Syar’iyyah adalah yang berasal dari Nabi, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu bahasa. Kemudian Ibnu Taimiyyah membagi ilmu kepada dua aspek yaitu Syar’iyyah adalah yang berurusan dengan agama dan ketuhanan dan ghair syar’iyyah adalah yang tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula disyaratkan olehnya. Semen-tara menurut Oliver Leaman membagi ilmu menjadi dua pula yaitu alam syahadah adalah alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam (nyata), dan alam ghaib adalah alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekedar pengetahuan proposisional. Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi kekacauan ilmu. Ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah kesalahan, melainkan sebagai pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof muslim di abad pertengahan.




[1] Qath’I adalah sesuatu yang sudah pasti (Mudlar Zuhri Ahmad. 2003. Kamus Krapyak Al-’Ashri. Jogjakarta: Multi Karya Grafika. Hlm. 1463)
[2] Hasyimsyah Nasution. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Cet 4. Hlm: 111.
[3] Hasyimsyah Nasution. 2005. Filsafat Islam. Ibid. Hal. 81 

1 komentar:

  1. Casinos in Canada 2021-2022 - GoOmans
    Casinos in Canada 2021-2022 · Casinos at Casinos in Canada. casino-roll.com Learn about kadangpintar online worrione.com casinos in poormansguidetocasinogambling Canada, including casino list wooricasinos.info for 2021.

    BalasHapus