Setelah
mengetahui dan memahami makna epistimologi, filsafat dan agama baik secara
terpadu ataupun terpisah, maka tidak dapat terpungkiri bahwa ada saja
permasalahan-permasalahan yang muncul didalamnya. Adapun perihal yang ingin
dibahas sekarang adalah masalah epistemologi dalam filsafat agama.
Telah
terketahui bahwa secara sederhana epistemologi adalah teori pengetahuan. Dalam
hal ini ia membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan
validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang
tidak bisa dilepaskan dari epistemologi yaitu pertama apa yang dapat diketahui
(teori dan isi ilmu), dan yang kedua bagaimana mengetahuinya (metodologi).
Pengkajian
terhadap epistemologi dalam filsafat agama sangatlah penting untuk dilakukan
mengingat saat ini sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif yaitu
“Kangker Epistemologi”. Kangker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (Critical
Power), serta telah mengakibatkan kegagalan akal (Intelellectual failure),
yang pada pada gilirannya dapat mengerogoti keyakinan sehingga menyebabkan kekufuran.
Gejala dari orang yang mengindap kangker ini diantaranya suka berkata: Di dunia
ini, kita tidak pernah tahu kebenaran absolute, yang kita tahu hanyalah
kebenaran dengan kecil, kebenaran itu relative, agama itu mutlak sedangkan
pemikiran keagamaan itu relative, semua agama benar dalam porsinya masing-masing
dan yang lainnya.
Proses
awal munculnya ungkapan-ungkapan tersebut dapat terketahui melalui perkembangan
zaman Yunani Kuno. Pada zaman ini terlahir suatu aliran yang bernama sofisme.
Menurut kaum ini, semua kebenaran itu relative dan ukuran kebenaran ialah manusia
(man is the measure of all things). Hal ini dikarena manusia itu
berbeda-beda, sehingga kebenarannya pun berbeda-beda. “Menurut anda mungkin
benar, tetapi menurut saya tidak”, demikian kurang lebih argumentasi kaum
sofis. Adapun akibat yang ditimbulkan ialah terjadi semacam kekacauan kebenaran
yaitu semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama dicurigai,
sehingga manusia hidup tanpa pegangan kebenaran dan hal itu telah menyebabkan
manusia terasing didunianya sendiri.
Pada
perkembangan selanjutnya, muncul pula pendapat Socrates yang jejaknya diikuti
oleh Plato dan Aristoteles yang mengatakan bahwa tidak semua kebenaran itu
relative tetapi ada kebenaran umum yang mutlak benar bagi siapapun, yaitu
kebenaran idea dan definisi. Kemudian muncul lagi sofisme klasik yang terlahir
kembali pada zaman modern dengan nama skeptisisme. Seorang yang skeptis akan
senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Bagi mereka pendapat
tentang semua perkara (termasuk yang qath’i[1]
dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap yang lebih
ekstrim mereka mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa di cari dan di dekati,
tetapi mustahil untuk ditemukan.
Setelah
kaum skeptis, kemudian muncul pula kaum relativis, yaitu kaum yang menganggap bahwa
semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte,
kelompok dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang
masing-masing. Sehingga jika skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka
seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang
kemudian berkembang menjadi paham pluralisme agama.
Inti
dari ketika golongan tersebut (sofisme, skeptisme, dan relativisme) menyebutkan
bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, maka dalam berbagai tempat Allah Swt. mengingatkan
bahwa hidup ini akan selalu ada dua pilihan, yaitu haqq dan bathil,
Benar (shawab) dan keliru (Khata’). Sehingga dalam hal ini
mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Suatu ilmu dapat diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan
berbagai alat. Menurut Jujun S Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara
pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama, mendasarkan
diri kepada rasio (logis) dan kedua, mendasarkan diri kepada pengalaman
(empiris). Kerjasama rasionalisme dan empirisme akan melahirkan metode
sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah
pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Kemudian, kerjasama antara
rasionalisme dan empirisme ini juga dapat melahirkan paham positivisme, yaitu paham
yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat
terukur, seperti panas di ukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan
meteran, dan berat di ukur dengan timbangan.
Selanjutnya,
selain pengetahuan rasionalisme dan empirisme terdapat pula pengetahuan yang
lain yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan
tanpa proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya
pada suatu masalah secara tiba-tiba ia menemukan jawaban atas permasalahan
tersebut, tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku. Sementara wahyu
merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia. Pengetahuan
ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya disetiap zaman.
Menurut
Jujun, Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia
sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga masalah-masalah yang bersifat
transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian.
Pengetahuan ini berdasarkan kepercayaan akan hal-hal yang ghaib (supranatural).
Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang
kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis
dan empiris.
Menurut
Ahmad Tafsir, terdapat aliran yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh- tokoh
agama; di dalam Islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa
manusia yang hatinya bersih, maka ia telah bersiap dan sanggup menerima
pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih fokus pada ilham yang diturunkan Allah
Swt. kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam
sejarah pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada
Mulla Shadra.
Pemikiran
al-Nasafi juga menyatakan bahwa terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu,
yaitu perspesi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat
(ta’aqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang
benar (khabar shaqiq). Sedangkan menurut ibnu Taimiyyah, terdapat
tiga yang pokok dalam saluran-saluran pengetahuan yaitu khabar, akal dan indera
yang kemudian dibagi lagi kepada indera lahir (panca indera) dan indera bathin
(intuisi hati).
Menurut
Ibu Thufail terdapat dua jalan dalam objek pengetahuan yaitu wahyu dan filsafat
dengan menggunakan akal sebagai pengolahnya dan panca indera yang menangkap
sumber pengetahuan dari pengalaman.[2]
Menurut
Al-Ghazali, sumber pengetahuan ada tiga yaitu panca indera, akal dan wahyu
(intuisi). Akan tetapi dalam hal ini Al-Gahazali lebih menekankan kepada
intuisi dalam menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya
yaitu kenenaran yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.[3]
Al-Ghazali
membagi ilmu dari aspek tujuan pada syar’iyyah dan ghair syar’iyyah.
Syar’iyyah adalah yang berasal dari Nabi, sedangkan ghair syar’iyyah
adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh
eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti
ilmu bahasa. Kemudian Ibnu Taimiyyah membagi ilmu kepada dua aspek yaitu Syar’iyyah
adalah yang berurusan dengan agama dan ketuhanan dan ghair syar’iyyah
adalah yang tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula disyaratkan olehnya.
Semen-tara menurut Oliver Leaman membagi ilmu menjadi dua pula yaitu alam
syahadah adalah alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam (nyata),
dan alam ghaib adalah alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari
sekedar pengetahuan proposisional. Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini
adalah melalui wahyu.
Klasifikasi
seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi kekacauan ilmu. Ketika
agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme
modern. Sehingga adanya Ahmadiyyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami
sebagai sebuah kesalahan, melainkan sebagai pembenaran bahwa Islam itu warna-warni.
Demikian juga, ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama,
maka yang lahir kelak pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh
dipahami sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh
sebagian filosof muslim di abad pertengahan.
Casinos in Canada 2021-2022 - GoOmans
BalasHapusCasinos in Canada 2021-2022 · Casinos at Casinos in Canada. casino-roll.com Learn about kadangpintar online worrione.com casinos in poormansguidetocasinogambling Canada, including casino list wooricasinos.info for 2021.