Selasa, 28 Juni 2016

Pendekatan Wahyu, Indera, Akal, dan Hati

A.    Pendahuluan
Keberadaan akan ilmu yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa perlu kita temukan dengan berbagai potensi yang telah Ia berikan kepada kita, yaitu potensi akal, indera, dan hati. Masing-masing dari potensi ini memiliki kemampuan yang berbeda, sehingga dalam perolehan ilmunya pun berbeda-beda. Akan tetapi di dalam epistimologi Islam, ketiga potensi tersebut mesti dikaitkan secara konsisten agar kebenaran ilmu menjadi lebih kuat. Selain dari ketiga potensi tersebut, manusia juga dianugerahi petunjuk dan pedoman hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui para nabi dan rasul yang diutus-Nya disetiap zaman, yaitu wahyu.
Pada tahap penerapannya, banyak dari para filsuf Islam telah mengkonsep-kan potensi-potensi epistimologinya secara menyeluruh. Seperti Al-Ghazali,  menurutnya potensi untuk memperoleh pengetahuan itu ada tiga, yaitu panca indera, akal, dan wahyu (intuisi). Akan tetapi dalam hal ini Al-Gahazali lebih menekankan kepada intuisi dalam menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya, yaitu kebenaran yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.[1]
Berkaitan dengan hal ini, maka dalam makalah yang sederhana ini penulis berupaya untuk membahas setiap potensi yang ada secara terpisah, sehingga konsep pemahamannya tidak sama seperti yang diterapkan oleh Al-Ghazali. Langkah pertamanya akan penulis awali dengan pembahasan dan pemahaman Epistimologi Islam secara sistematis melalui berbagai pendekatan, yaitu pendekatan wahyu, akal, indera, dan hati. Adapun pada langkah keduanya penulis berupaya untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana proses pendekatan ataupun pengembangan potensi-potensi tersebut.

B.     Pembahasan
      1.      Pengertian Epistimologi Islam
Secara istilah epistimologi berasal dari bahasa yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ilmu.[2] Menurut Sudarminta, epistimologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif yaitu bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin keberadaannya, atau memiliki dasar yag dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti upaya untuk menentukan norma sebagai tolak ukur kebenaran. Sedangkan kritis adalah suatu ajakan untuk mempertanyakan dan meguji seluruh proses kegiatan mengetahui manusia.[3] Adapun Islam adalah suatu agama yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman. Sehingga kajian epistimologi Islam ini ialah suatu kajian disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis terhadap pedoman-pedoman agama yang akan berlaku didalam kehidupan.
      2.      Epistimologi Islam dalam berbagai Pendekatan
a.      Makna Pendekatan
Secara etimologi pendekatan adalah derivasi kata dekat, artinya tidak jauh, setelah mendapat awalan pe dan akhiran an maka kata pendekatan dapat bermakna suatu proses, perbuatan, cara mendekati, ataupun suatu aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Adapun makna pendekatan dari sudut terminologi adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami segala yang ada.[4]
b.      Pendekatan Wahyu (Al-Quran)
Rujukan pertama dalam keilmuan Islam ialah wahyu (Al-Quran). Dimana pengertian Alquran itu sendiri ialah wahyu Tuhan Swt. yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman hidup manusia. Secara bahasa, alquran artinya bacaan, yaitu bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bagi umat Islam, membaca al-Quran merupakan ibadah.
Makna dari pendekatan wahyu disini ialah melakukan berbagai tindakan dan upaya penyelesai terhadap berbagai permasalahan dengan berlandaskan pada ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dengan topik permasalahan. Akan tetapi, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa petunjuk seperti ilham dari Tuhan itu dapat diperoleh oleh manusia melalui usaha-usaha yang dilakukan secara sadar.     
c.       Pendekatan Indera
Pendekatan indera merupakan suatu potensi yang dimiliki oleh manusia untuk mencari dan memperoleh kebenaran. Dalam istilah lain potensi indera ini sering disebut dengan pengalaman inderawi ataupun keyakinan empirisme.
Dalam hal ini, manusia mempunyai seperangkat indera yang berfungsi sebagai penghubung antara dirinya dengan dunia nyata. Melalui potensi inderanya manusia mampu mengenal berbagai hal yang ada di sekitarnya. Kenyataan seperti ini menyebabkan timbulnya anggapan bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh melalui penginderaan atau pengalaman yang konkrit. Sebagai contoh: manusia tahu bahwa es dingin, hal tersebut dikarenakan manusia itu menyentuhnya, gula manis terasa karena ia mencicipinya.[5]
Pengetahuan inderawi bersifat parsial, yang disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas psikologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Setiap indera menangkap aspek yang berbeda dari barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada skabilitas organ-organ tertentu.[6]
Jenis pendekatan inderawi ini belum mempunyai dasar objektif yang kokoh. Contohnya seperti warna, suara, rasa dan lain-lain. Semua objek tersebut tidak termuat secara esensial didalam benda material. Unsur-unsur objek tersebut hanyalah sensasi yang disebabkan oleh kulitas-kualitas primer manusia dan tidak memiliki dasar objektif yang sama. Semua sensasi (warna, suara, rasa) akan lenyap dan berhenti apabila tanpa adanya mata yang melihat sinar atau warna, atau tanpa adanya telinga yang mendengar suara.[7] Adapun secara lebih lanjut, kelemahan inderawi manusia adalah dapat keliru dalam melakukan pengamatan, maka dari itu fakta atau data pun tidak selamanya menampakkan diri sebagaimana yang ditangkap oleh indera.[8]
d.      Pendekatan Akal
Cara lain untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan mengandalkan akal. Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan rasional. Dalam hal ini, manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir, sehingga dengan kemampuannya tersebut manusia dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu, yang pada akhirnya sampai pada kebenaran, yaitu kebenaran akal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya.
Secara istilah, akal dapat digunakan dalam beberapa hal, yaitu untuk menunjukkan kemampuan untuk mengetahui sesuatu, kemampuan membedakan kebaikan dan keburukan yang dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal yang mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat mencegahnya, kemampuan dan keadaan yag terdapat dalam jiwa manusia yang mengajak kepada kebaikan dan keuntungan dan menjauhi kejelekan dan kerugian, kemampuan yang bisa mengatur kehidupan manusia. Jika sesuai dengan hukum dan dipergunakan untuk hal-hal yang dianggap baik oleh syariat, maka itu adalah akal budi. Tetapi ketika digunakan untuk melakukan hal-hal yang menentang syariat, maka disebut nakra` atau syaithan.
e.       Pendekatan Hati
Secara biologi, hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh. Ia terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino.[9]
Menurut Tasmara bahwa hatilah yang menjadi pemimpin spritual kita yang terdiri dari potensi akal (fu'ad), potensi kesadaran emosi (shard) dan potensi dorongan (hawaa). Hati nurani adalah pusat dari ketiga potensi tersebut. Fu'ad tugasnya adalah berpikir, menganalisis, berinovasi, dan mengambil keputusan. Shard potensinya ialah untuk merasakan suasana emosi (empati), kerja sama dan saling menghormati, sedangkan Hawaa adalah dorongan atau keinginan yang seringkali melumpuhkan potensi lainnya. Oleh karena itu, pendekatan dengan hati dalam dunia keilmuan merupakan pendidikan yang tertinggi nilai keampuhannya.[10]
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan hati dalam epistimologi Islam suatu upaya pengembangan hati dalam mencari kebenaran ilmu. Pendekatan hati juga dilatarbelakangi oleh pandangan tentang keterbatasan akal manusia untuk menangkap realitas. Dengan demikian pendekatan hati ini setidaknya dapat ditempuh melalui beberapa tahap, yaitu:
1.      persiapan; untuk bisa menerima limpahan pengetahuan manusia harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual.
2.      penerimaan; jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme seseorang akan mendapatkan limpahan langsung dari Tuhan secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak, sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri sebagai objaek yang diketahui.
3.      pengungkapan terhadap apa yang sudah diperoleh (lisan ataupun tulisan).
      3.      Proses Pengembangan setiap Potensi
Setelah mengetahui makna dari setiap pendekatan potensi yang dapat memberikan kebenaran ilmu pada setiap manusia, maka selanjutnya ialah mesti adanya suatu upaya pengembangan terhadap setia potensi-potensi tersebut. Hal ini bertujuan agar potensi yang sudah ada tersebut tidak terkesan sia-sia ataupun tidak bermanfaat dalam kehidupan yang terus mengalami perubahan.
Upaya pengembangan dan pengkombinasian potensi juga merupakan suatu tanggungjawab mulia yang mesti dijalani oleh manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Agar segenap ilmu yang telah diciptakan oleh Tuhan dapat terketahui dan difungsikan secara maksimal, baik untuk kebaikan hidup di dunia maupun untuk kebaikan hidup diakhirat.  
  
C.    Penutup
Perpaduan antara segala potensi mesti dikedepankan, agar kesejatian ilmu dapat kita peroleh dengan benar. Hal ini tidak lain bahwa sesungguhnya kita adalah makhluk yang telah diciptakan oleh Tuhan Swt dengan bentuk yang paling baik dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dimana manusia di samping memiliki hidayah fitriyah dan khawasyiyah, juga diberi hidayah ‘akliyah. Dengan akalnyalah manusia dapat menaklukkan binatang buas, dapat mengolah tanah dan sebagainya. Namun tidak semua yang diusahakan manusia itu berhasil karena ada hidayah Allah yang lebih tinggi yaitu hidayah diniyah (agama). Namun tidak semua manusia menerima ajaran agama, banyak pula manusia yang mendustakan-nya.
Meskipun demikian, melalui potensi indera, akal, hati dan wahyu yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia, maka manusia tersebut akan dapat memperoleh keimanan dan pengetahuan, sehingga derajat yang tinggi disisi Tuhan yang Maha Kuasa juga akan ia dapatkan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Mujahadah ayat 11 yang artinya, “Dan apabila dikatakan kepadamu, berdirilah, maka hendaklah kamu berdiri, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Dengan iman dan ilmu manusia diharapkan mampu mengendalikan dirinya. Iman dalam Islam itu merupakan cahaya dan ilmu pengetahuan sebagai mata. Mata tanpa cahaya akan gelap tidak dapat menembus hakikat suatu benda. Dan cahaya tanpa mata tentunya tidak akan terasa oleh manusia manfaatnya.
Demikian pembahasan ini penulis uraikan secara sederhana. Kritikan dan saran sangat penulis harapkan, agar kesejatian ilmu dapat kita wujudkan. Semoga bermanfaat.



Daftar Pustaka
Sumber Buku
Kartanegara, Mulyadi. 2003. Pengantar Epistimologi Islam. Bandung: Mizan 
Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nata, Abuddin. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada.
Sudarminta. 2002. Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat Pendahuluan. Yogyakarta: Kanisus.
Watloly, Aholiab. 2001. Tanggungjawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistimologi Secara Kultural. Yogyakarta: Kanisius.
Wattimena, Reza A.A. 2008. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta: Grasindo. Hal. 29-30.

Sumber Internet
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hati
Http://zhalabe.blogspot.com/2012/03/Pendekatan Hati dalam Mendidik. Html.





[1] Hasyimsyah Nasution. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hal. 81 
[2] Reza A.A Wattimena. 2008. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta: Grasindo. Hal. 29-30.
[3] Sudarminta. 2002. Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat Pendahuluan. Yogyakarta: Kanisus. Hal. 18-19.
[4] Abuddin Nata. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada. Hal. 42-43.
[6] Ibid.
[7] Aholiab Watloly. 2001. Tanggungjawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistimo-logi Secara Kultural. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 142.
[8] Mulyadi Kartanegara. 2003. Pengantar Epistimologi Islam. Bandung: Mizan. Hal. 21.
[9] Http://id.wikipedia.org/wiki/Hati
[10] Http://zhalabe.blogspot.com/2012/03/Pendekatan Hati dalam Mendidik. Html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar