A.
Pendahuluan
Keberadaan akan ilmu yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa perlu kita temukan dengan berbagai potensi yang telah Ia berikan kepada
kita, yaitu potensi akal, indera, dan hati. Masing-masing dari potensi ini
memiliki kemampuan yang berbeda, sehingga dalam perolehan ilmunya pun
berbeda-beda. Akan tetapi di dalam epistimologi Islam, ketiga potensi tersebut
mesti dikaitkan secara konsisten agar kebenaran ilmu menjadi lebih kuat. Selain
dari ketiga potensi tersebut, manusia juga dianugerahi petunjuk dan pedoman
hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui para nabi dan rasul yang diutus-Nya
disetiap zaman, yaitu wahyu.
Pada tahap penerapannya, banyak dari para filsuf Islam telah mengkonsep-kan
potensi-potensi epistimologinya secara menyeluruh. Seperti Al-Ghazali, menurutnya potensi untuk memperoleh
pengetahuan itu ada tiga, yaitu panca indera, akal, dan wahyu (intuisi). Akan
tetapi dalam hal ini Al-Gahazali lebih menekankan kepada intuisi dalam
menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya, yaitu kebenaran
yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.[1]
Berkaitan dengan hal ini, maka dalam makalah yang sederhana ini
penulis berupaya untuk membahas setiap potensi yang ada secara terpisah,
sehingga konsep pemahamannya tidak sama seperti yang diterapkan oleh Al-Ghazali.
Langkah pertamanya akan penulis awali dengan pembahasan dan pemahaman Epistimologi
Islam secara sistematis melalui berbagai pendekatan, yaitu pendekatan wahyu,
akal, indera, dan hati. Adapun pada langkah keduanya penulis berupaya untuk
mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana proses pendekatan ataupun
pengembangan potensi-potensi tersebut.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Epistimologi Islam
Secara
istilah epistimologi berasal dari bahasa yunani, yaitu episteme yang
berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ilmu.[2]
Menurut Sudarminta, epistimologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat
evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif yaitu bersifat menilai, ia menilai
apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat
dibenarkan, dijamin keberadaannya, atau memiliki dasar yag dapat
dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti upaya untuk menentukan
norma sebagai tolak ukur kebenaran. Sedangkan kritis adalah suatu ajakan untuk
mempertanyakan dan meguji seluruh proses kegiatan mengetahui manusia.[3] Adapun
Islam adalah suatu agama yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw.
sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia
hingga akhir zaman. Sehingga kajian epistimologi Islam ini ialah suatu kajian disiplin
ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis terhadap pedoman-pedoman agama
yang akan berlaku didalam kehidupan.
2.
Epistimologi Islam dalam berbagai Pendekatan
a.
Makna Pendekatan
Secara etimologi pendekatan adalah derivasi kata dekat, artinya
tidak jauh, setelah mendapat awalan pe dan akhiran an maka kata
pendekatan dapat bermakna suatu proses, perbuatan, cara mendekati, ataupun
suatu aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti
atau metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Adapun
makna pendekatan dari sudut terminologi adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
segala yang ada.[4]
b.
Pendekatan Wahyu (Al-Quran)
Rujukan pertama dalam keilmuan Islam ialah wahyu (Al-Quran). Dimana
pengertian Alquran itu sendiri ialah wahyu Tuhan Swt. yang diberikan kepada
Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman hidup manusia. Secara bahasa, alquran
artinya bacaan, yaitu bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bagi umat Islam,
membaca al-Quran merupakan ibadah.
Makna dari pendekatan wahyu disini ialah melakukan berbagai
tindakan dan upaya penyelesai terhadap berbagai permasalahan dengan
berlandaskan pada ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dengan topik permasalahan.
Akan tetapi, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa petunjuk seperti ilham
dari Tuhan itu dapat diperoleh oleh manusia melalui usaha-usaha yang dilakukan
secara sadar.
c.
Pendekatan Indera
Pendekatan indera merupakan suatu potensi yang dimiliki oleh
manusia untuk mencari dan memperoleh kebenaran. Dalam istilah lain potensi
indera ini sering disebut dengan pengalaman inderawi ataupun keyakinan
empirisme.
Dalam hal ini, manusia mempunyai seperangkat indera yang berfungsi
sebagai penghubung antara dirinya dengan dunia nyata. Melalui potensi inderanya
manusia mampu mengenal berbagai hal yang ada di sekitarnya. Kenyataan seperti
ini menyebabkan timbulnya anggapan bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh
melalui penginderaan atau pengalaman yang konkrit. Sebagai contoh: manusia tahu
bahwa es dingin, hal tersebut dikarenakan manusia itu menyentuhnya, gula manis terasa
karena ia mencicipinya.[5]
Pengetahuan inderawi bersifat parsial, yang disebabkan oleh adanya
perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat
khas psikologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya.
Setiap indera menangkap aspek yang berbeda dari barang atau makhluk yang
menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan
terbatas pada skabilitas organ-organ tertentu.[6]
Jenis pendekatan inderawi ini belum mempunyai dasar objektif yang
kokoh. Contohnya seperti warna, suara, rasa dan lain-lain. Semua objek tersebut
tidak termuat secara esensial didalam benda material. Unsur-unsur objek
tersebut hanyalah sensasi yang disebabkan oleh kulitas-kualitas primer manusia
dan tidak memiliki dasar objektif yang sama. Semua sensasi (warna, suara, rasa)
akan lenyap dan berhenti apabila tanpa adanya mata yang melihat sinar atau
warna, atau tanpa adanya telinga yang mendengar suara.[7]
Adapun secara lebih lanjut, kelemahan inderawi manusia adalah dapat keliru
dalam melakukan pengamatan, maka dari itu fakta atau data pun tidak selamanya
menampakkan diri sebagaimana yang ditangkap oleh indera.[8]
d.
Pendekatan Akal
Cara lain untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan mengandalkan
akal. Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan rasional. Dalam hal ini,
manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir, sehingga dengan
kemampuannya tersebut manusia dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu,
yang pada akhirnya sampai pada kebenaran, yaitu kebenaran akal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk
memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya.
Secara istilah, akal dapat digunakan dalam beberapa hal, yaitu
untuk menunjukkan kemampuan untuk mengetahui sesuatu, kemampuan membedakan
kebaikan dan keburukan yang dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal yang
mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat mencegahnya, kemampuan dan
keadaan yag terdapat dalam jiwa manusia yang mengajak kepada kebaikan dan
keuntungan dan menjauhi kejelekan dan kerugian, kemampuan yang bisa mengatur
kehidupan manusia. Jika sesuai dengan hukum dan dipergunakan untuk hal-hal yang
dianggap baik oleh syariat, maka itu adalah akal budi. Tetapi ketika digunakan
untuk melakukan hal-hal yang menentang syariat, maka disebut nakra` atau
syaithan.
e.
Pendekatan Hati
Secara biologi, hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh. Ia
terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma.
Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini
dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa
yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan
nitrogen dari asam amino.[9]
Menurut Tasmara bahwa hatilah yang menjadi pemimpin spritual kita
yang terdiri dari potensi akal (fu'ad), potensi kesadaran emosi (shard) dan
potensi dorongan (hawaa). Hati nurani adalah pusat dari ketiga potensi
tersebut. Fu'ad tugasnya adalah berpikir, menganalisis, berinovasi, dan
mengambil keputusan. Shard potensinya ialah untuk merasakan suasana emosi
(empati), kerja sama dan saling menghormati, sedangkan Hawaa adalah dorongan
atau keinginan yang seringkali melumpuhkan potensi lainnya. Oleh karena itu, pendekatan
dengan hati dalam dunia keilmuan merupakan pendidikan yang tertinggi nilai
keampuhannya.[10]
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan hati dalam epistimologi
Islam suatu upaya pengembangan hati dalam mencari kebenaran ilmu. Pendekatan hati juga dilatarbelakangi oleh pandangan tentang keterbatasan
akal manusia untuk menangkap realitas. Dengan demikian pendekatan hati ini setidaknya
dapat ditempuh melalui beberapa tahap, yaitu:
1.
persiapan; untuk bisa
menerima limpahan pengetahuan manusia harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan
spiritual.
2.
penerimaan; jika telah
mencapai tingkat tertentu dalam sufisme seseorang akan mendapatkan limpahan
langsung dari Tuhan secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan
mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak, sehingga dengan
kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri sebagai objaek yang
diketahui.
3.
pengungkapan terhadap
apa yang sudah diperoleh (lisan ataupun tulisan).
3.
Proses Pengembangan setiap Potensi
Setelah mengetahui makna dari setiap pendekatan potensi yang dapat
memberikan kebenaran ilmu pada setiap manusia, maka selanjutnya ialah mesti
adanya suatu upaya pengembangan terhadap setia potensi-potensi tersebut. Hal
ini bertujuan agar potensi yang sudah ada tersebut tidak terkesan sia-sia
ataupun tidak bermanfaat dalam kehidupan yang terus mengalami perubahan.
Upaya pengembangan dan pengkombinasian potensi juga merupakan suatu
tanggungjawab mulia yang mesti dijalani oleh manusia sebagai khalifah dimuka
bumi. Agar segenap ilmu yang telah diciptakan oleh Tuhan dapat terketahui dan
difungsikan secara maksimal, baik untuk kebaikan hidup di dunia maupun untuk kebaikan
hidup diakhirat.
C.
Penutup
Perpaduan antara segala potensi mesti dikedepankan, agar kesejatian
ilmu dapat kita peroleh dengan benar. Hal ini tidak lain bahwa sesungguhnya
kita adalah makhluk yang telah diciptakan oleh Tuhan Swt dengan bentuk yang
paling baik dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dimana manusia di samping
memiliki hidayah fitriyah dan khawasyiyah, juga diberi hidayah ‘akliyah. Dengan
akalnyalah manusia dapat menaklukkan binatang buas, dapat mengolah tanah dan
sebagainya. Namun tidak semua yang diusahakan manusia itu berhasil karena ada
hidayah Allah yang lebih tinggi yaitu hidayah diniyah (agama). Namun tidak
semua manusia menerima ajaran agama, banyak pula manusia yang mendustakan-nya.
Meskipun demikian, melalui potensi indera, akal, hati dan wahyu
yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia, maka manusia tersebut akan
dapat memperoleh keimanan dan pengetahuan, sehingga derajat yang tinggi disisi
Tuhan yang Maha Kuasa juga akan ia dapatkan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat
al-Mujahadah ayat 11 yang artinya, “Dan apabila dikatakan kepadamu,
berdirilah, maka hendaklah kamu berdiri, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.”
Dengan iman dan ilmu manusia diharapkan mampu mengendalikan
dirinya. Iman dalam Islam itu merupakan cahaya dan ilmu pengetahuan sebagai
mata. Mata tanpa cahaya akan gelap tidak dapat menembus hakikat suatu benda.
Dan cahaya tanpa mata tentunya tidak akan terasa oleh manusia manfaatnya.
Demikian pembahasan ini penulis uraikan secara sederhana. Kritikan
dan saran sangat penulis harapkan, agar kesejatian ilmu dapat kita wujudkan.
Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Kartanegara, Mulyadi. 2003. Pengantar Epistimologi Islam. Bandung:
Mizan
Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nata, Abuddin. 2000. Metodologi Studi Islam.
Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada.
Sudarminta. 2002. Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat
Pendahuluan. Yogyakarta: Kanisus.
Watloly, Aholiab. 2001. Tanggungjawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistimologi Secara Kultural.
Yogyakarta: Kanisius.
Wattimena, Reza A.A. 2008. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar.
Jakarta: Grasindo. Hal. 29-30.
Sumber Internet
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hati
Http://sumsel. kemenag. go.id/ file/dokumen/ sumber pengetahuan
menurut ahli filsafat. pdf. Hal . 1. Apload: selasa, 13 Mei 2014. 23:35 Wib.
Http://zhalabe.blogspot.com/2012/03/Pendekatan Hati dalam Mendidik.
Html.
[1] Hasyimsyah
Nasution. 2005. Filsafat Islam. Jakarta:
Gaya Media Pratama. Hal. 81
[2] Reza A.A
Wattimena. 2008. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta: Grasindo.
Hal. 29-30.
[3] Sudarminta.
2002. Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat Pendahuluan. Yogyakarta: Kanisus.
Hal. 18-19.
[4] Abuddin Nata. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo
Persada. Hal. 42-43.
[5] Http://sumsel.
kemenag. go.id/ file/dokumen/ sumber pengetahuan menurut ahli filsafat. pdf. Hal . 1.
Apload: selasa, 13 Mei 2014. 23:35 Wib.
[6] Ibid.
[7] Aholiab
Watloly. 2001. Tanggungjawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistimo-logi Secara
Kultural. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 142.
[8] Mulyadi
Kartanegara. 2003. Pengantar Epistimologi Islam. Bandung: Mizan. Hal. 21.
[9]
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hati
[10]
Http://zhalabe.blogspot.com/2012/03/Pendekatan Hati dalam Mendidik. Html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar