Selasa, 28 Juni 2016

Krisis Keimanan

Ilmu merupakan petunjuk yang diberikan oleh Allah Swt. kepada setiap manusia menurut tingkat keimanan dan usaha yang dilakukan. Keimanan terhadap Allah Swt. merupakan jati diri yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian ilmu. Keduanya akan saling mengisi, baik dalam meningkatkan keimanan maupun dalam meningkatkan ilmu. Namun di masa sekarang ini, suatu ilmu pengetahuan sudah tidak lagi dijadikan sebagai tujuan untuk meningkatkan keimanan. Setiap pembelajaran ilmu hanya dijadikan sebagai pencitraan gelar, peningkatan gaji, dan hanya sebagai persyaratan akademik disuatu program studi tertentu.
Kondisi pencapaian ilmu pengetahuan semacam ini sudah menjadi kebiasaan diberbagai kalangan. Terutama dari kalangan masyarakat yang berkecimpung dalam bidang pendidikan. Unsur-unsur nepotisme dan plagiasi telah tumbuh subur di dalam bidang yang satu ini. Kebiasaan tersebut dianggap sebagai suatu kewajaran yang dapat membuat masa depan pribadi, orang lain, ataupun fungsi lembaga menjadi lebih baik. Tetapi kenyataan yang berlaku malah sebaliknya. Masih banyak para lulusan pendidikan yang kurang siap dengan bidangnya ketika terjun ke dunia kerja. Sehingga tatacara korupsi, kolusi dan nepotisme akan senantiasa dijadikan sebagai langkah jeniusnya.
Secara tidak langsung, penyelesaian beban studi yang tidak sesuai dengan prosedur akademik merupakan awal dari suatu kebodohan yang akan dijalani pada hari-hari berikutnya. Persoalan yang akan dialami di masa depan memang bukan suatu hal yang pasti. Segala sesuatunya merupakan ketentuan dari Allah Swt, baik yang telah terjadi, akan terjadi, maupun yang belum terjadi. Namun sekarang ini banyak pihak yang meremehkan dan melawan segala ketentuan, baik itu ketentuan yang bersumber dari Allah Swt. maupun segala ketentuan dari kesepakan potensi mereka sendiri. Sudah banyak sekali unsur-unsur kehidupan yang mereka zalimi dengan berbagai kepentingan dan janji. Sedangkan tujuannya terkadang hanya untuk memperoleh kekuasaan, keuntungan, pujian, ataupun penghargaan. Hal ini semakin membuka peluang kepada mereka untuk mengimplementasikan perilaku-perilaku tercela ke dalam segala sektor.
Kenyataan ini sangatlah berseberangan dengan harapan dari berbagai konsep epistemologi yang telah dicetuskan oleh para tokoh Islam sebelumnya. Setiap konsep ideal yang telah dikemukakan belum mampu diimplementasi secara kongkrit dengan berbagai potensi yang ada, yaitu panca indera, akal, dan hati. Kemudian potensi-potensi ini tidak pula dikembangkan atau dikombinasikan dengan standar pedoman mutlak, yaitu wahyu Allah Swt. Serta masih banyak juga pengkombinasian antara setiap potensi yang semakin jauh dari kebenaran sejati, sehingga penyelesaian perkara-perkara yang dihadapi pun semakin sulit. 
Kondisi peradaban ilmu pengetahuan Islam yang terpuruk semacam ini tentunya bukanlah tujuan ideal yang diharapkan dari adanya studi epistemologi Islam. Setiap bidang ilmu pengetahuan akan senantiasa berguna dalam memajukan peradaban. Seperti yang telah dikemukakan oleh Ziauddin Sardar bahwa melalui ilmu pengetahuan manusia dapat menentukan bagaimana jalan yang terbaik dalam memandang realitas, membentuk, dan mengembangkan suatu masyarakat yang adil, dinamis dan hidup.[1]
Kemudian harapan yang sama juga telah banyak dicetuskan oleh para pemikir muslim, baik yang berkedudukan dibelahan dunia timur maupun barat. Salah satu diantaranya seperti kelompok Ikhwanul al-Shafa’ yang bermazhab Syi’ah Ismailiah dan berpusat di kota Basrah - Baghdad pada sekitaran tahun 958 M-983 M.[2] Menurut kelompok ini, pengetahuan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pengetahuan adab/sastra, pengetahuan syariat, dan pengetahuan filsafat. Terhadap pengetahuan filsafat, Ikhwanul al-Shafa’ membagi lagi menjadi empat bagian, yaitu pengetahuan matematika, logika, fisika, dan metafisika (ilahiah).[3] Secara jelasnya, bagi Ikhwanul al-Shafa’ pengetahuan syariat adalah pengetahuan yang paling mulia, yaitu pengetahuan yang telah disampaikan oleh para nabi melalui wahyu, sedangkan pengetahuan adab dan filsafat juga pengetahuan yang paling mulia tetapi setelah pengetahuan syariat, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui upaya jiwa dan akal secara mendalam.[4]
Demikian pula menurut seorang filsuf muslim pertama di kawasan barat, yaitu Abu Bakar Muhammad ibnu Yahya ibnu al-Sha’igh, yang lebih di kenal dengan nama Ibnu Bajjah.[5] Ia dilahirkan di Saragossa-Spanyol, pada akhir abad ke-5 H/ abad ke-11 M.[6] Bekaitan dengan konsep epistemologi Islam, Ibnu Bajjah percaya bahwa pengetahuan tidak hanya di peroleh lewat indera. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan universal tentang alam semesta juga dapat dicapai dengan bantuan akal aktif (aql fa’al).[7] Berbeda dengan teori ilhamnya Al-Ghazali, dalam teorinya Ibnu Bajjah menetapkan bahwa seseorang akan dapat mencapai puncak makrifat dan meleburkan diri pada akal-faal, jika ia telah terlepas dari keburukan-keburukan masyarakat, menyendiri, dan dapat memakai kekuatan pikirannya untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebesar mungkin, serta dapat memenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya.[8]
Berikutnya muncul pula suatu konsep epistemologi Islam dari seorang filsuf muslim kedua di kawasan barat yang berasal dari suku Qais,[9] tepatnya pada masa Daulah Muwahhidun (12 M – 13 M).[10] Namanya Abu Bakar Muhammad ibnu ‘Abd al-Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia lahir pada dekade pertama abad ke-12 M di Ouadix-Granada.[11] Konsep epistemologi yang dikembangkan oleh ibnu Thufail ialah kesesuaian antara pengalaman dengan nalar, dan kesesuaian antara nalar dengan intuisi.[12] Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa tingkatan ma’rifat dapat dimulai dengan pengalaman dan pengamatan pancaindera. Adapun hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Intinya, tingkatan ma’rifat dapat dicapai dengan dua cara, yaitu pemikiran atau perenungan akal, dan kasyf ruhani melalui latihan kesungguhan rohani.[13]
Dekade berikutnya muncul juga konsep dari Syihab al-Din Abu al-Futuh Yahya ibnu Habasy ibnu Amirak al-Suhrawardi.[14] Ia lahir di desa Suhrawardi, Aleppo-Suriah sekitar tahun 548 H/ 1153 M dan meninggal di Damsyik (Damascus) pada tahun 587 H/ 1191 M.[15] Adapun karya Suhrawardi yang sangat monumental dalam persoalan epistimologi adalah hikmah al-Isyraq (filsafat pencerahan).[16] Suhrawardi mendasarkan pengetahuannya pada illuminasi. Ia menggabungkan antara cara nalar dengan cara intuisi yang saling melengkapi. Jika nalar tanpa intuisi maka illuminasi tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional maka akan tersesat dan tidak dapat mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis.[17]
Adapun seiring dengan perkembangannya, segenap konsep tersebut tetap saja masih belum mampu diterapkan secara maksimal. Sehingga pada era kontemporer ini telah muncul juga konsep-konsep epistemologi Islam dari para pemikir Islam. Salah seorang diantaranya ialah Fazlur Rahman. Fazlur Rahman dikenal sebagai seorang neo-modernis yang liberal dan radikal dalam peta pembaharuan Islam. berkaitan dengan konsep epistemologi Islam, Fazlur Rahman menawarkan metodologi yang terdiri dari perbedaan yang tegas antara Islam normatif dan Islam historis, yaitu metode hermeneutika dan metode kritik sejarah.[18]
Berdasarkan catatan Nasaiy Azis, metode perolehan ilmu Fazlur Rahman dapat terpahami dari beberapa pernyataannya bahwa Al-Qur’an merupakan respon ilahi melalui pikiran nabi terhadap situasi-situasi sosio-moral dan historis masa nabi. Suatu ajaran yang kepastian pemahamannya terdapat pada al-Qur’an secara keseluruhan. Sebuah buku prinsip dan seruan moral, serta bukan sebuah dokumen hukum. Bersifat deskriptif (penggambaran) dan preskriptif (memberikan ketentuan) bagi manusia.[19]
Selain dari konsep epistemologi Islam yang telah dicetuskan oleh Fazlur Rahman. Konsep epistemologi Islam juga telah dicetuskan oleh Muhammad Arkoun. Konsep epistemologi Islam yang ditawarkan oleh Muhammad Arkoun dapat terpahami dari metode kritik historis-analisis arkiologis yang digagasnya. Menurut Arkoun, umat Islam harus melakukan analisis kritis terhadap implikasi kondisi darurat, terutama pada aspek sosial, ekonomi dan politik. Baik yang menimpa warisan intelektual Islam awam maupun masyarakat kontemporer. Tujuannya ialah agar umat Islam dapat berbuat lebih dari sekedar meniru temuan terdahulu.[20]
Menurut catatan Nasaiy Aziz, ilmu pengetahuan dalam perspektif Arkoun dapat diperoleh melalui penafsiran yang mencermati keterkaitan dimensi bahasa pemikiran dan sejarah. Adapun langkah pertama dalam melakukan suatu penafsiran adalah membedakan teks yang pertama (pembentuk) dan teks hermeneutika (produk tafsir). Sedangkan langkah selanjutnya ialah dengan menggunakan analisis arkeologis, yaitu melakukan klarifikasi sejarah terhadap teks-teks hermeneutika dari tradisi pemikiran tertentu. Sehingga akan terlihat hubungan antara teks-teks dari fase sejarah tertentu dengan kondisi sosial, generasi dan aliran-aliran pemikiran yang beragam dari kurun waktu yang sama.[21]
Kelanjutan dari epistemologi Muhammad Arkoun tertuang pula ke dalam konsep epistemologi yang ditawarkan oleh Hasan Hanafi. Secara khusus Hasan Hanafi mengistilahkannya dengan masa lampau dan masa kini, atau antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern.[22] Menurut Hasan Hanafi, hermeneutika pembebasan dalam kehidupan sosial keagamaan diperlukan sebagai alat untuk membaca tradisi dalam kepentingan revolusi, dan sebagai kebenaran dalam menafsirkan masa lampau untuk kepentingan masa yang akan datang.[23] Ataupun sebagai ilmu interpretasi, alat untuk menafsir, alat untuk memahami, dan alat untuk menjalankan.[24]
Berbagai metode perolehan ilmu pengetahuan yang telah dicetuskan ini akan menjadi solusi terbaik dalam memajukan peradaban terkini. Namun kesadaran untuk mempelajari dan mengembangkannya sudah tidak lagi dianggap penting. Perbedaan demi perbedaan telah dijadikan sebagai jurang pemisah antara masing-masing kemampuan. Kemampuan indera dianggap tidak berhubungan sama sekali dengan akal dan hati dalam mengamati berbagai fenomena alam. Demikian pula sebaliknya, antara akal dan hati tidak berhubungan dengan panca indera. Padahal seperti yang telah disebutkan oleh al-Ghazali bahwa ada tiga tahapan peroleh ilmu pengetahuan, yaitu melalui panca indera, akal, dan pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya, yaitu pengetahuan intuitif atau pengetahuan yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.[25] Tingkat epistemologi ini menurut Sudarminta, dapat dipahami sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis.[26] Berbagai kemampuan manusia yang berperan dalam epistemologi Islam merupakan suatu pendekatan. Pendekatan yang dimaksud ialah cara pandang yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang digunakan dalam memahami segala yang ada.[27]
Setiap kemampuan yang ada tentunya memiliki perbedaan, namun bukan berarti tidak memiliki hubungan timbal balik. Perolehan suatu kebenaran ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh adanya hubungan erat antara setiap kemampuan. Kemudian setiap kemampuan tersebut mesti dijadikan sebagai solusi terhadap persoalan-persoalan sekarang ataupun masa depan. Seperti halnya gagasan lama yang berlaku dalam epistemologi Islam. Ada beberapa kebiasaan dalam epistemologi tersebut yang mesti direkonstruksi atau disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tujuannya ialah agar kondisi peradaban Islam tidak semakin terpuruk oleh kemajuan peradaban yang lain.
Adapun cara pencapaiannya sama dengan salah satu pernyataan Ziauddin Sardar bahwa kebangkitan peradaban Islam harus dilakukan secara dinamis, yaitu dengan penuh kesungguhan dalam mempelajari masa lampau dan masa kini. Serta dapat merencanakan masa depan secara jelas sesuai dengan keinginan.[28] Kemudian Ziauddin Sardar menegaskan pula bahwa perumusan karakter epistemologi Islam tidak hanya dimulai dengan menitikberatkan pada disiplin-disiplin ilmu yang sudah ada, tetapi juga dengan mengembangkan paradigma-paradigma peradaban muslim, seperti sains dan teknologi, politik dan hubungan internasional, struktur-struktur sosial dan kegiatan ekonomi, perkembangan desa dan kota. Semua itu dapat dipelajari dan dikembangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan realitas kontemporer.[29]




[1] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1991), 85.
[2] Dedi Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, Cet. II (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 100.
[3] Ibid, 102.
[4] Ibid.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), 185.
[6] Ibid, 185.
[7] Dedi Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam ..., 204.
[8] Ibid, 201.
[9] Mustofa, Filsafat Islam: untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, Adab, dan Ushuluddin, Komponem MKDK. Cet. I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 271.
[10] Dedi Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam ..., 211.
[11] Ibid, 212.
[12] Mustofa, Filsafat Islam: untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah ..., 278.
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya ..., 218.
[14] Mustofa, Filsafat Islam. untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah ...,  247.
[15] Dedi Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam ...,177.
[16] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2002), 129.
[17] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: GayaMedia Pratama, 1999), 154.
[18] Nasaiy Aziz, Penafsiran Al-Qur’an Kontemporer: Metode Penafsiran Bint Syati’ dan Fazlur Rahman, Editor: Lukmanul Hakim (Banda Aceh: Arraniry Press – NASA, 2012), 161.
[19] Ibid, 157-159.
[20] Ibid, 161.
[21] Ibid, 161-162.
[22] Hasan Hanafi, Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutika, Terj. Jajat Hidayatul Firdaus dan Neila Diena Rochman, cet. II (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), 129.
[23] Ibid, 130.
[24] Ibid, 135.
[25] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 81. 
[26] Sudarminta, Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat Pendahuluan (Yogyakarta: Kanisus, 2002), 18-19.
[27] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2000), 42-43.
[28] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim ..., 13.
[29] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 169.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar