Ilmu merupakan petunjuk
yang diberikan oleh Allah Swt. kepada setiap manusia menurut tingkat keimanan dan usaha yang dilakukan. Keimanan
terhadap Allah Swt. merupakan jati diri yang tidak dapat dipisahkan dalam
pencapaian ilmu. Keduanya akan saling mengisi, baik dalam meningkatkan keimanan
maupun dalam meningkatkan ilmu. Namun di masa sekarang ini, suatu ilmu
pengetahuan sudah tidak lagi dijadikan sebagai tujuan untuk meningkatkan
keimanan. Setiap pembelajaran ilmu hanya dijadikan sebagai pencitraan gelar, peningkatan
gaji, dan hanya sebagai persyaratan akademik disuatu program studi tertentu.
Kondisi pencapaian ilmu pengetahuan semacam ini
sudah menjadi kebiasaan diberbagai kalangan. Terutama dari kalangan masyarakat
yang berkecimpung dalam bidang pendidikan. Unsur-unsur nepotisme dan plagiasi telah
tumbuh subur di dalam bidang yang satu ini. Kebiasaan tersebut dianggap sebagai
suatu kewajaran yang dapat membuat masa depan pribadi, orang lain, ataupun fungsi
lembaga menjadi lebih baik. Tetapi kenyataan yang berlaku malah sebaliknya.
Masih banyak para lulusan pendidikan yang kurang siap dengan bidangnya ketika
terjun ke dunia kerja. Sehingga tatacara korupsi, kolusi dan nepotisme akan
senantiasa dijadikan sebagai langkah jeniusnya.
Secara tidak langsung,
penyelesaian beban studi yang tidak sesuai dengan prosedur akademik merupakan
awal dari suatu kebodohan yang akan dijalani pada hari-hari berikutnya. Persoalan
yang akan dialami di masa depan memang bukan suatu hal yang pasti. Segala
sesuatunya merupakan ketentuan dari Allah Swt, baik yang telah terjadi, akan
terjadi, maupun yang belum terjadi. Namun sekarang ini banyak pihak yang
meremehkan dan melawan segala ketentuan, baik itu ketentuan yang bersumber dari
Allah Swt. maupun segala ketentuan dari kesepakan potensi mereka sendiri. Sudah
banyak sekali unsur-unsur kehidupan yang mereka zalimi dengan berbagai
kepentingan dan janji. Sedangkan tujuannya terkadang hanya untuk memperoleh
kekuasaan, keuntungan, pujian, ataupun penghargaan. Hal ini semakin membuka
peluang kepada mereka untuk mengimplementasikan perilaku-perilaku tercela ke
dalam segala sektor.
Kenyataan ini sangatlah
berseberangan dengan harapan dari berbagai konsep epistemologi yang telah
dicetuskan oleh para tokoh Islam sebelumnya. Setiap konsep ideal yang telah
dikemukakan belum mampu diimplementasi secara kongkrit dengan berbagai potensi
yang ada, yaitu panca indera, akal, dan hati. Kemudian potensi-potensi ini
tidak pula dikembangkan atau dikombinasikan dengan standar pedoman mutlak,
yaitu wahyu Allah Swt. Serta masih banyak juga pengkombinasian antara setiap
potensi yang semakin jauh dari kebenaran sejati, sehingga penyelesaian
perkara-perkara yang dihadapi pun semakin sulit.
Kondisi peradaban ilmu
pengetahuan Islam yang terpuruk semacam ini tentunya bukanlah tujuan ideal yang
diharapkan dari adanya studi epistemologi Islam. Setiap bidang ilmu pengetahuan
akan senantiasa berguna dalam memajukan peradaban. Seperti yang telah
dikemukakan oleh Ziauddin Sardar bahwa melalui ilmu pengetahuan manusia dapat menentukan
bagaimana jalan yang terbaik dalam memandang realitas, membentuk, dan mengembangkan
suatu masyarakat yang adil, dinamis dan hidup.[1]
Kemudian harapan yang
sama juga telah banyak dicetuskan oleh para pemikir muslim, baik yang
berkedudukan dibelahan dunia timur maupun barat. Salah satu diantaranya seperti
kelompok Ikhwanul al-Shafa’ yang bermazhab
Syi’ah Ismailiah dan berpusat di kota Basrah - Baghdad pada sekitaran tahun 958
M-983 M.[2]
Menurut kelompok ini, pengetahuan dapat
dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pengetahuan adab/sastra, pengetahuan
syariat, dan pengetahuan filsafat. Terhadap pengetahuan filsafat, Ikhwanul al-Shafa’
membagi lagi menjadi empat bagian, yaitu pengetahuan matematika, logika,
fisika, dan metafisika (ilahiah).[3] Secara
jelasnya, bagi Ikhwanul al-Shafa’ pengetahuan syariat adalah pengetahuan yang
paling mulia, yaitu pengetahuan yang telah disampaikan oleh para nabi melalui
wahyu, sedangkan pengetahuan adab dan filsafat juga pengetahuan yang paling mulia
tetapi setelah pengetahuan syariat, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui
upaya jiwa dan akal secara mendalam.[4]
Demikian
pula menurut seorang filsuf muslim pertama di kawasan barat, yaitu Abu Bakar
Muhammad ibnu Yahya ibnu al-Sha’igh, yang lebih di kenal dengan nama Ibnu
Bajjah.[5] Ia
dilahirkan di Saragossa-Spanyol, pada akhir abad ke-5 H/ abad ke-11 M.[6]
Bekaitan dengan konsep epistemologi Islam, Ibnu Bajjah percaya bahwa pengetahuan
tidak hanya di peroleh lewat indera. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan
universal tentang alam semesta juga dapat dicapai dengan bantuan akal aktif (aql
fa’al).[7]
Berbeda dengan teori ilhamnya Al-Ghazali, dalam teorinya Ibnu Bajjah menetapkan
bahwa seseorang akan dapat mencapai puncak makrifat dan meleburkan diri pada akal-faal,
jika ia telah terlepas dari keburukan-keburukan masyarakat, menyendiri, dan
dapat memakai kekuatan pikirannya untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebesar
mungkin, serta dapat memenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran
hewaninya.[8]
Berikutnya
muncul pula suatu konsep epistemologi Islam dari seorang filsuf muslim kedua di
kawasan barat yang berasal dari suku Qais,[9]
tepatnya pada masa Daulah Muwahhidun (12 M – 13 M).[10]
Namanya Abu Bakar Muhammad ibnu ‘Abd al-Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu
Thufail. Ia lahir pada dekade pertama abad ke-12 M di Ouadix-Granada.[11]
Konsep epistemologi yang dikembangkan oleh ibnu Thufail ialah kesesuaian antara
pengalaman dengan nalar, dan kesesuaian antara nalar dengan intuisi.[12]
Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa tingkatan ma’rifat dapat dimulai dengan
pengalaman dan pengamatan pancaindera. Adapun hal-hal yang bersifat metafisis
dapat diketahui dengan akal intuisi. Intinya, tingkatan ma’rifat dapat dicapai
dengan dua cara, yaitu pemikiran atau perenungan akal, dan kasyf ruhani
melalui latihan kesungguhan rohani.[13]
Dekade
berikutnya muncul juga konsep dari Syihab al-Din Abu al-Futuh Yahya ibnu Habasy
ibnu Amirak al-Suhrawardi.[14]
Ia lahir di desa Suhrawardi, Aleppo-Suriah sekitar tahun 548 H/ 1153 M dan
meninggal di Damsyik (Damascus) pada tahun 587 H/ 1191 M.[15] Adapun karya Suhrawardi yang sangat monumental dalam persoalan
epistimologi adalah hikmah al-Isyraq (filsafat pencerahan).[16] Suhrawardi
mendasarkan pengetahuannya pada illuminasi. Ia menggabungkan antara cara
nalar dengan cara intuisi yang saling melengkapi. Jika nalar tanpa intuisi maka illuminasi tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran
dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan
dan pengembangan kemampuan rasional maka akan tersesat dan tidak dapat mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis.[17]
Adapun seiring dengan
perkembangannya, segenap konsep tersebut tetap saja masih belum mampu
diterapkan secara maksimal. Sehingga pada era kontemporer ini telah muncul juga
konsep-konsep epistemologi Islam dari para pemikir Islam. Salah seorang diantaranya
ialah Fazlur Rahman. Fazlur Rahman dikenal sebagai seorang neo-modernis yang
liberal dan radikal dalam peta pembaharuan Islam. berkaitan dengan konsep
epistemologi Islam, Fazlur Rahman menawarkan metodologi yang terdiri dari
perbedaan yang tegas antara Islam normatif dan Islam historis, yaitu metode
hermeneutika dan metode kritik sejarah.[18]
Berdasarkan catatan
Nasaiy Azis, metode perolehan ilmu Fazlur Rahman dapat terpahami dari beberapa
pernyataannya bahwa Al-Qur’an merupakan respon ilahi melalui pikiran nabi
terhadap situasi-situasi sosio-moral dan historis masa nabi. Suatu ajaran yang kepastian
pemahamannya terdapat pada al-Qur’an secara keseluruhan. Sebuah buku prinsip
dan seruan moral, serta bukan sebuah dokumen hukum. Bersifat deskriptif
(penggambaran) dan preskriptif (memberikan ketentuan) bagi manusia.[19]
Selain dari konsep
epistemologi Islam yang telah dicetuskan oleh Fazlur Rahman. Konsep
epistemologi Islam juga telah dicetuskan oleh Muhammad Arkoun. Konsep
epistemologi Islam yang ditawarkan oleh Muhammad Arkoun dapat terpahami dari metode
kritik historis-analisis arkiologis yang digagasnya. Menurut Arkoun, umat Islam
harus melakukan analisis kritis terhadap implikasi kondisi darurat, terutama
pada aspek sosial, ekonomi dan politik. Baik yang menimpa warisan intelektual
Islam awam maupun masyarakat kontemporer. Tujuannya ialah agar umat Islam dapat
berbuat lebih dari sekedar meniru temuan terdahulu.[20]
Menurut catatan Nasaiy Aziz, ilmu
pengetahuan dalam perspektif Arkoun dapat diperoleh melalui penafsiran yang mencermati
keterkaitan dimensi bahasa pemikiran dan sejarah. Adapun langkah pertama dalam
melakukan suatu penafsiran adalah membedakan teks yang pertama (pembentuk) dan
teks hermeneutika (produk tafsir). Sedangkan langkah selanjutnya ialah dengan
menggunakan analisis arkeologis, yaitu melakukan klarifikasi sejarah
terhadap teks-teks hermeneutika dari tradisi pemikiran tertentu. Sehingga akan
terlihat hubungan antara teks-teks dari fase sejarah tertentu dengan kondisi sosial,
generasi dan aliran-aliran pemikiran yang beragam dari kurun waktu yang sama.[21]
Kelanjutan dari
epistemologi Muhammad Arkoun tertuang pula ke dalam konsep epistemologi yang
ditawarkan oleh Hasan Hanafi. Secara khusus Hasan Hanafi mengistilahkannya
dengan masa lampau dan masa kini, atau antara masyarakat tradisional dan
masyarakat modern.[22] Menurut Hasan Hanafi, hermeneutika
pembebasan dalam kehidupan sosial keagamaan diperlukan sebagai alat untuk
membaca tradisi dalam kepentingan revolusi, dan sebagai kebenaran dalam
menafsirkan masa lampau untuk kepentingan masa yang akan datang.[23]
Ataupun sebagai ilmu interpretasi, alat untuk menafsir, alat untuk memahami,
dan alat untuk menjalankan.[24]
Berbagai metode
perolehan ilmu pengetahuan yang telah dicetuskan ini akan menjadi solusi
terbaik dalam memajukan peradaban terkini. Namun kesadaran untuk mempelajari
dan mengembangkannya sudah tidak lagi dianggap penting. Perbedaan demi
perbedaan telah dijadikan sebagai jurang pemisah antara masing-masing
kemampuan. Kemampuan indera dianggap tidak berhubungan sama sekali dengan akal
dan hati dalam mengamati berbagai fenomena alam. Demikian pula sebaliknya, antara
akal dan hati tidak berhubungan dengan panca indera. Padahal seperti yang telah
disebutkan oleh al-Ghazali
bahwa ada tiga tahapan peroleh ilmu pengetahuan, yaitu melalui panca indera,
akal, dan pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya, yaitu pengetahuan
intuitif atau pengetahuan yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk
wahyu.[25]
Tingkat epistemologi ini menurut Sudarminta, dapat dipahami sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan
kritis.[26]
Berbagai kemampuan manusia yang berperan dalam epistemologi Islam merupakan
suatu pendekatan. Pendekatan yang dimaksud ialah cara pandang yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang digunakan dalam memahami segala yang ada.[27]
Setiap kemampuan yang
ada tentunya memiliki perbedaan, namun bukan berarti tidak memiliki hubungan timbal
balik. Perolehan suatu kebenaran ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh adanya
hubungan erat antara setiap kemampuan. Kemudian setiap kemampuan tersebut mesti
dijadikan sebagai solusi terhadap persoalan-persoalan sekarang ataupun masa
depan. Seperti halnya gagasan lama yang berlaku dalam epistemologi Islam. Ada
beberapa kebiasaan dalam epistemologi tersebut yang mesti direkonstruksi atau
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tujuannya ialah agar kondisi peradaban
Islam tidak semakin terpuruk oleh kemajuan peradaban yang lain.
Adapun cara
pencapaiannya sama dengan salah satu pernyataan Ziauddin Sardar bahwa
kebangkitan peradaban Islam harus dilakukan secara dinamis, yaitu dengan penuh
kesungguhan dalam mempelajari masa lampau dan masa kini. Serta dapat merencanakan
masa depan secara jelas sesuai dengan keinginan.[28]
Kemudian Ziauddin Sardar menegaskan pula bahwa perumusan karakter epistemologi
Islam tidak hanya dimulai dengan menitikberatkan pada disiplin-disiplin ilmu
yang sudah ada, tetapi juga dengan mengembangkan paradigma-paradigma peradaban
muslim, seperti sains dan teknologi, politik dan hubungan internasional,
struktur-struktur sosial dan kegiatan ekonomi, perkembangan desa dan kota.
Semua itu dapat dipelajari dan dikembangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan
dan realitas kontemporer.[29]
[1] Ziauddin
Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Terj. Rahmani Astuti
(Bandung: Mizan, 1991), 85.
[2] Dedi
Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, Cet.
II (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 100.
[3] Ibid,
102.
[4] Ibid.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2010), 185.
[7] Dedi
Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam ..., 204.
[8] Ibid,
201.
[9] Mustofa, Filsafat
Islam: untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, Adab, dan Ushuluddin, Komponem MKDK.
Cet. I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 271.
[10] Dedi
Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam ..., 211.
[11] Ibid,
212.
[12] Mustofa, Filsafat
Islam: untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah ..., 278.
[14] Mustofa, Filsafat
Islam. untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah ..., 247.
[15] Dedi
Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam ...,177.
[16] Majid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan,
2002), 129.
[18] Nasaiy Aziz, Penafsiran
Al-Qur’an Kontemporer: Metode Penafsiran Bint Syati’ dan Fazlur Rahman,
Editor: Lukmanul Hakim (Banda Aceh: Arraniry Press – NASA, 2012), 161.
[19] Ibid, 157-159.
[20] Ibid, 161.
[21] Ibid, 161-162.
[22] Hasan Hanafi, Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi,
Hermeneutika, Terj. Jajat Hidayatul Firdaus dan Neila Diena Rochman, cet.
II (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), 129.
[23] Ibid, 130.
[24] Ibid, 135.
[25] Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 81.
[26] Sudarminta, Epistimologi
Dasar: Pengantar Filsafat Pendahuluan (Yogyakarta: Kanisus, 2002), 18-19.
[27] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam
(Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2000), 42-43.
[28] Ziauddin
Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim ..., 13.
[29] Mujamil Qomar,
Epistemologi Pendidikan Islam: dari
Metode Rasional hingga Metode Kritis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006),
169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar