Selasa, 28 Juni 2016

Konsep Epistemologi Ziauddin Sardar

Makalah Ini Dipresentasikan oleh Kelompok VI [Nazari Mahda, Nana Efriani, dan Salmiaton Sa'diah] pada Selasa, 08 Desember 2014, di Ruang Perkuliahan Epistemologi Islam II Prodi Ilmu Aqidah. USH.UINAR.

A. PENDAHULUAN
Kehausan ilmu merupakan suatu kewajaran dalam suatu peradaban. Kehausan tersebut telah diisi oleh potensi-potensi yang beragam. Keberagaman potensi terus berkontribusi dalam memunculkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kunci yang paling mendasar dalam kemajuan umat manusia. Namun demikian, kemajuan tersebut tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah yang dikenal dengan istilah epistemologi.[1]
Menurut The Liang Gie yang termuat di dalam karya tulis Abdul Gaffar, mendefenisikan bahwa: “Epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, sampai soal kebenaran”.[2]  Kemudian secara lebih lanjut Gaffar juga mengutip pendapat Ahmad Tafsir yang menurutnya epistemologi merupakan studi yang membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.[3]
Berlandaskan pada pendapat dari kedua tokoh tersebut, maka segala ragam ilmu telah dapat diketahui dengan pasti. Begitu banyaknya konsep-konsep ilmu yang telah dicetuskan oleh para pecinta kebenaran. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk tidak bertindak sesuai dengan kebenaran-kebenaran.
Kemudian, agar dapat bertindak secara benar maka dibutuhkan juga pembahasan secara mendalam terhadap konsep-konsep ilmu yang ada. Jawaban akan hal ini kiranya akan dapat terperoleh pada uraian  “Konsep Epistemologi menurut Ziauddin Sardar” yang terdapat di dalam makalah yang sederhana ini. Sebagai salah satu strategis untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan secara benar, maka mempelajari lebih serius tentang berbagai konsep ilmu pengetahuan ini sangatlah penting.

B. BIOGRAFI

Ziauddin Sardar adalah seorang pemikir muslim dan penulis produktif kelahiran Pakistan pada 1951. Pemikiran Ziauddin Sardar tentang peradaban Islam sebenarnya telah ada pada tahun 80-an, di mana ia mencetuskan karyanya yang berjudul The Future of Muslim Civilization dan diterbitkan di Malaysia pada 1988 yang dilanjutkan dengan karya lainnya yang berjudul Islamic Futures, The Shape of Ideas to come. Namun, karena berbagai hal maka belum banyak orang yang mengetahui dan mengelaborasikan setiap pemikirannya.[4]
Ziauddin Sardar adalah intelektual muslim yang juga Penulis dalam pemikiran Islam kontemporer, sains, dan juga seorang kritikus budaya. Kemudian ia juga termasuk salah satu penulis Islam progresif. Sardar pernah menjadi fenomena tersendiri dalam intelektualisme Islam pada era 1980-an, bersama dengan Parvez Manzoor, Gulzar Haider, atau Munawar Ahmad Anees. Mereka mempelopori munculnya suatu gerakan kesarjanaan baru kaum muslimin di Barat. Dimana dalam gerakan tersebut mereka telah memadukan tradisi intelektualisme dan aktivisme. Sardar menilai Islam harus di rekonstruksi sebagai peradaban, karena hanya dengan itu Islam bisa terwujud sebagai manifestasi kebudayaan dan nilai-nilainya sendiri sebagai perangkat keras dari pengalaman sejarahnya, sebagai instrumen pragmatis dari sistem filsafatnya atau singkatnya sebagai manifestasi eksternal dari pandangan dunia nya.[5]

C. EPISTEMOLOGI ZIAUDDIN SARDAR

Konsep epistemologi yang dicetuskan oleh para tokoh, pada umumnya tidak memiliki perbedaan yang berarti. Gagasan-gagasan yang mereka munculkan terkadang bukan hal yang baru, tetapi sering sekali terdiri dari gagasan tokoh-tokoh sebelumnya. Namun tidak berarti pula gagasan tersebut kurang bagus untuk diterapkan dimasa hidup tokoh yang bersangkutan. Setiap gagasan lama tersebut terkadang sangat bernilai untuk diterapkan kembali dengan berbagai rekonstruksi-rekonstruksi.
Hal semacam ini dapat terlihat langsung dari berbagai konsep epistemologi yang dimunculkan oleh Ziauddin Sardar, baik di dalam karya-karyanya maupun dalam karya tulis tokoh lain. Menurut Ziauddin Sardar yang termuat di dalam jurnal Suqiyah Musyafa’ah menjelaskan bahwa:
“Epistemologi adalah titik pusat dari setiap pandangan dunia. Dia menjadi parameter yang menentukan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin di dalam bidang Islam, apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui, apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik dihindari, dan apa yang sama sekali tidak mungkin untuk diketahui. Epistemologi berusaha untuk mendefinisikan pengetahuan, membedakan variasi-variasi utamanya, menandai sumber-sumbernya, dan menentukan batas-batasnya”.[6]

Berdasarkan pada pengertian epistemologi tersebut, maka secara lebih lanjut Sardar menjelaskan pula bahwa ilmu merupakan alat penentu terbaik bagi orang-orang muslim dalam memandang realitas, membentuk, dan mengembang-kan suatu masyarakat yang adil. Ilmu adalah perekat yang mengikat masyarakat muslim dengan lingkungannya. Ia memberi Islam suatu bentuk yang dinamis dan hidup. Kemudian ilmu harus diposisikan sebagai konsep, landasan tegaknya pondasi peradaban muslim, dan suatu nilai yang mencakup kesemuanya.[7]
Berkaitan dengan konsep epistemologi Islam. Maka selain dari Sardar, Miska Muhammad Amien juga menjelaskan bahwa Epistemologi adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah objektifitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subjek Islam sebagai titik tolak berpikirnya.[8]  Secara tidak langsung, teori epistemologi Islam yang semacam ini mengisyaratkan kepada pelajar Islam untuk mempelajari dan mengimplentasikan kitab pedoman secara komprehensif di dalam setiap persoalan kehidupan.
Berbicara tentang epistemologi saja sangatlah umum. Dimana ia mencakup seluruh konsep yang dicetuskan oleh setiap golongan manusia. Dengan demikian, langkah untuk mengkhususkannya ialah dengan melihat konsep epistemologi Islam itu sendiri. Diantara begitu banyaknya konsep, maka menurut Ziauddin Sardar, ciri dasar epistemologi Islam ialah berlandaskan pada pedoman mutlak; bersifat aktif dan deduktif; memandang objektivitas sebagai masalah umum; memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang objektif; berusaha menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman yang dapat menumbuhkan komitmen dan nilai-nilai dasar didalam diri penganutnya”.[9]
Adapun secara kontemporer, di dalam karya Mujamil Qomar dijelaskan bahwa Ziauddin Sardar berpandangan bahwa perumusan karakter epistemologi Islam tidak dapat dimulai dengan menitik beratkan pada disiplin-disiplin ilmu yang sudah ada, tetapi dengan mengembangkan paradigma-paradigma peradaban muslim, seperti sains dan teknologi, politik dan hubungan internasional, struktur-struktur sosial dan kegiatan ekonomi, perkembangan desa dan kota. Dan semua itu dapat dipelajari dan dikembangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan realitas kontemporer.[10] 
Diantara upaya pengembangan tersebut ialah media informasi. Menurut Sardar, informasi merupakan kekuasaan, tanpa informasi seseorang tidak memiliki kekuasaan. Jika informasi dibolehkan mengalir secara bebas dalam masyarakat, maka ia akan memberikan jalan ke arah kekuasaan kepada masya-rakat yang terbelakang, serta akan mencegah konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang.[11]
Berkesinambungan dengan epistemologi yang dikonsepkan oleh Sardar, maka menurut Hasani Ahmad Said epistemologi Sardar ini mengarah pada rekonstruksi peradaban Islam. Karena menurut Sardar, “Islam dan masyarakat muslim menyerupai suatu bangunan yang sangat indah tetapi kuno, yang pada tahun-tahun sulitnya sekarang ini, membutuhkan banyak biaya untuk pemugarannya. Fondasinya begitu kuat, tetapi penembokannya butuh pertahan mendesak. Kita perlu merekonstruksi peradaban muslim, sebab jika tidak, batu-batu akan tumbang dan runtuh satu persatu”.[12]
Terkait dengan ungkapan Sardar tersebut, dalam karya tulisnya Hasani Ahmad Said berpendapat bahwa:
“Perlu adanya upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara keselu-ruhan terhadap pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengalami perkembangan dan kemajuan. Kepada umat Islam harus diberikan pemahaman yang komprehensif tentang perhatian Islam yang begitu dalam akan pandangan keduniawian, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahwa akhirat itu lebih kekal, oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan, tidak berarti harus menafikan dunia. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapan Islam perlu disosialisasikan lebih intens kepada umat Islam sehingga umat Islam tidak hanya fasih dalam ibadah saja, tapi juga mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diungkapkan Sardar dengan istilah perluasan syariah ke dalam domain-domain kontemporer, seperti perencanaan lingkungan dan perkotaan, kebijakan sains dan penaksiran teknologi, partisipasi masyarakat, dan pembangunan pedesaan”.[13]
Bahasan tentang epistemologi Islam yang menurut Sardar perlu di rekonstruksi secara serius mencakup beberapa hal, yaitu:[14]
  1. Pembangunan peradaban melalui pertumbuhan ekonomi masyarakat;
  2. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi;
  3. Pembangunan ini tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan kebijaksanaan Negara-negara maju;
  4. Proses industrialisasi tidak hanya mencangkok aktivitas-aktivitas industrial tertentu dari negara-negara maju, ia juga harus disertai dengan penguasaan teknologi;
  5. Tidak semata-mata alih teknologi, tetapi juga dengan membangun infrastruktur sains dan teknologi yang berupa sumber daya manusia (SDM) ilmu pengetahuan, keahlian, dan kemampuan inovatif dan produktif untuk menyerap dan menghadapi teknologi impor;
  6. Memiliki kemampuan dasar untuk riset dan tidak puas hanya dengan literatur sains negara-negara maju.
Secara lebih kongkrit, Sardar berpendapat bahwa proyek rekonstruksi peradaban Islam ini dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai dan konsep Islam untuk pengembangan ilmu pengetahuana dan teknologi. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di sini adalah pengembangan teknologi dengan menguasai teknologi informasi dan media masa seperti radio dan televisi serta perangkat yang mendukungnya. Adapun langkah realisasinya umat Islam perlu mengembangkan Sistim Informasi Nasional (SIN) yang mencakup:[15]
  1. Perpustakaan nasional; suatu penyimpan semua publikasi nasional dan bertugas menghimpun semua dokumen yang mungkin diperlukan untuk riset dan kegiatan-kegiatan intelektual lainnya.
  2. Pusat-pusat informasi nasional untuk bidang-bidang informasi ilmiah, informasi teknologis dan industrial, medis, pertanian, bisnis dan lain-lain;
  3. Pusat alih informasi untuk pertukaran informasi nasional, seperti telepon-telepon yang menghubungkan para ilmuan dan sarjana terkait dengan kegiatan-kegiatan intelektual seperti seminar, penelitian, dan lain-lain;
  4. Lembaga standar nasional, untuk upaya-upaya standarisasi kuantitas, kualitas, pola, metode dan satuan-satuan pengukuran dalam sains, teknologi, industri dan kedokteran.
Dalam hal ini diperlukan para “penjaga gawang” informasi yang selain bertugas membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Islam, tetapi juga mengkritisi sumber-sumber informasi yang datang dari luar Islam. Sardar, mengilustrasikan para penjaga gawang ini dengan Janus, dewa penjaga pintu Romawi. Terkait dengan masalah pengembangan informasi ini, perlu diupayakan pula secara intensif kerjasama di antara negeri-negeri muslim dengan membangun Jaringan Informasi Muslim Internasional (JIMI). Hal ini menjadi penting seperti yang diuraikan Sardar kedalam tiga hal, yaitu:[16]
  1. Kesatuan iman, akidah, warisan budaya, perkembangan peradaban, dan kesamaan struktur politik ekonomi;
  2. Kesatuan blok negeri-negeri muslim sebagai negara-negara berkembang yang memiliki kepentingan-kepentingan, problem-problem dan tantangan-tantangan yang sama dalam program pembangunan mereka;
  3. Ada wilayah-wilayah tertentu yang merupakan perogatif khas dunia muslim.
D. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan tentang konsep epistemologi Ziauddin Sardar yang telah terdapat di dalam bab pembahasan, maka dapat penulis simpulkan bahwa:
Bagi Ziauddin Sardar, epistemologi Islam perlu direkontruksi sesuai dengan perkembangan peradaban. Kemampuan masyarakat terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi perlu di tingkatkan melalui pensosialisa-sian secara konfrehensif dari berbagai pihak, yaitu pihak yang tentunya ahli di dalam bidangnya.
Alquran dan Hadist di dalam agama Islam merupakan landasan ataupun pedoman yang mesti dipelajari dengan penuh kesadaran. Setiap keterangan yang terdapat di dalamnya mesti di teliti secara khusus (sabjektif). Agar setiap yang diteliti tersebut dapat meningkatkan komitmen ataupun keyakinan terhadap Islam. 
Demikianlah konsep epistemologi Ziauddin Sardar yang dapat penulis paparkan. Berkaitan dengan ruang lingkup pembahasan dan teknis penulisan yang mungkin terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, maka penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga bermanfaat. Terimakasih.

E. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Said, Hasani. Dalam http://hasaniahmadsaid.blogspot.com/2013/03/rekonstruksi-peradaban-islam-meretas.html.
Aly Arfan, Aip. Rekonstruksi Peradaban Islam dalam Pandangan Ziauddin Sardar, dalam http://aip-aly-arfan.blogspot.com/2013/02/html.
Gaffar, Abdul. Epistimologi Bayani, Burhani, dan Irfani, dalam http://sanadth-khusus.blogspot.com/2011/09/epistemologi-bayani-burhani-dan irfani.htm   
Musyafa’ah, Suqiyah. Epistemologi Quran dalam Pemetaan Keilmuan Islam Indonesia, dalam http://202.154.59.182/ejournal/files/pdf.
Misbah, Daqoiqul. Epistemologi, dalam http://daqoiqul.blogspot.com/2013/01/    epistemologi.html.
Nia, Nanika. Review Buku, dalam http://nanikania5.blogspot.com/2012/10/ fairy-jihad-intelektual-merumuskan-parameter.html.
Nur Astiwi, Putri. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2011, dalam http://www. pnri.go.id/MajalahOnlineAdd.aspx?id=165.
Qomar, Mujamil. 2006. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritis. Jakarta: Penerbit Erlangga.

  1. Abdul Gaffar, Epistimologi Bayani, Burhani, dan Irfani, dalam http://sanadthkhusus. blogspot.com/2011/09/epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani.html, diakses: 01/12/2014. 10:32.
  2. Ibid.
  3. Ibid.
  4. Aip Aly Arfan, Rekonstruksi Peradaban Islam dalam Pandangan Ziauddin Sardar, dalam http://aip-aly-arfan.blogspot.com/2013/02/html, apload pada 01/12/14, 11:08 wib.
  5. Nanika Nia, Review Buku, dalam http://nanikania5.blogspot.com/2012/10/ fairy-jihad-intelektual-merumuskan-parameter.html, di akses pada tanggal 06 Desember 2014, 12:18 wib. 
  6. Suqiyah Musyafa’ah, Epistemologi Quran dalam Pemetaan Keilmuan Islam Indonesia,  dalam http://202.154.59.182/ejournal/files/pdf, apload pada tanggal 01/12/2014, 10:15. Hal. 02. 
  7. Ibid. Hal. 03.
  8. Daqoiqul Misbah, Epistemologi, dalam http://daqoiqul.blogspot.com/2013/01/epis- temologi.html, apload pada tanggal 05 Desember 2014, 11:02 wib.
  9. Ibid.
  10. Mujamil Qomar, 2006, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritis. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 169.
  11. Putri Nur Astiwi, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2011, dalam http://www. pnri.go.id/MajalahOnlineAdd.aspx?id=165, apload tanggal 07 Desember 2014, 22:31 wib.
  12. Hasani Ahmad Said, dalam http://hasaniahmadsaid.blogspot.com/2013/03/rekonstruksi -peradaban-islam-meretas.html, apload tanggal 07 Desember 2014, 22:45 wib. 
  13. Ibid.
  14. Ibid.
  15. Ibid.
  16. Ibid.
KEJUJURAN BERAWAL DARI KESADARAN HARGA DIRI. SUNGGUH JUJUR TIDAK RUGI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar