Selasa, 28 Juni 2016

Pendekatan Wahyu, Indera, Akal, dan Hati

A.    Pendahuluan
Keberadaan akan ilmu yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa perlu kita temukan dengan berbagai potensi yang telah Ia berikan kepada kita, yaitu potensi akal, indera, dan hati. Masing-masing dari potensi ini memiliki kemampuan yang berbeda, sehingga dalam perolehan ilmunya pun berbeda-beda. Akan tetapi di dalam epistimologi Islam, ketiga potensi tersebut mesti dikaitkan secara konsisten agar kebenaran ilmu menjadi lebih kuat. Selain dari ketiga potensi tersebut, manusia juga dianugerahi petunjuk dan pedoman hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui para nabi dan rasul yang diutus-Nya disetiap zaman, yaitu wahyu.
Pada tahap penerapannya, banyak dari para filsuf Islam telah mengkonsep-kan potensi-potensi epistimologinya secara menyeluruh. Seperti Al-Ghazali,  menurutnya potensi untuk memperoleh pengetahuan itu ada tiga, yaitu panca indera, akal, dan wahyu (intuisi). Akan tetapi dalam hal ini Al-Gahazali lebih menekankan kepada intuisi dalam menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya, yaitu kebenaran yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.[1]
Berkaitan dengan hal ini, maka dalam makalah yang sederhana ini penulis berupaya untuk membahas setiap potensi yang ada secara terpisah, sehingga konsep pemahamannya tidak sama seperti yang diterapkan oleh Al-Ghazali. Langkah pertamanya akan penulis awali dengan pembahasan dan pemahaman Epistimologi Islam secara sistematis melalui berbagai pendekatan, yaitu pendekatan wahyu, akal, indera, dan hati. Adapun pada langkah keduanya penulis berupaya untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana proses pendekatan ataupun pengembangan potensi-potensi tersebut.

B.     Pembahasan
      1.      Pengertian Epistimologi Islam
Secara istilah epistimologi berasal dari bahasa yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ilmu.[2] Menurut Sudarminta, epistimologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif yaitu bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin keberadaannya, atau memiliki dasar yag dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti upaya untuk menentukan norma sebagai tolak ukur kebenaran. Sedangkan kritis adalah suatu ajakan untuk mempertanyakan dan meguji seluruh proses kegiatan mengetahui manusia.[3] Adapun Islam adalah suatu agama yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman. Sehingga kajian epistimologi Islam ini ialah suatu kajian disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis terhadap pedoman-pedoman agama yang akan berlaku didalam kehidupan.
      2.      Epistimologi Islam dalam berbagai Pendekatan
a.      Makna Pendekatan
Secara etimologi pendekatan adalah derivasi kata dekat, artinya tidak jauh, setelah mendapat awalan pe dan akhiran an maka kata pendekatan dapat bermakna suatu proses, perbuatan, cara mendekati, ataupun suatu aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Adapun makna pendekatan dari sudut terminologi adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami segala yang ada.[4]
b.      Pendekatan Wahyu (Al-Quran)
Rujukan pertama dalam keilmuan Islam ialah wahyu (Al-Quran). Dimana pengertian Alquran itu sendiri ialah wahyu Tuhan Swt. yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman hidup manusia. Secara bahasa, alquran artinya bacaan, yaitu bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bagi umat Islam, membaca al-Quran merupakan ibadah.
Makna dari pendekatan wahyu disini ialah melakukan berbagai tindakan dan upaya penyelesai terhadap berbagai permasalahan dengan berlandaskan pada ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dengan topik permasalahan. Akan tetapi, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa petunjuk seperti ilham dari Tuhan itu dapat diperoleh oleh manusia melalui usaha-usaha yang dilakukan secara sadar.     
c.       Pendekatan Indera
Pendekatan indera merupakan suatu potensi yang dimiliki oleh manusia untuk mencari dan memperoleh kebenaran. Dalam istilah lain potensi indera ini sering disebut dengan pengalaman inderawi ataupun keyakinan empirisme.
Dalam hal ini, manusia mempunyai seperangkat indera yang berfungsi sebagai penghubung antara dirinya dengan dunia nyata. Melalui potensi inderanya manusia mampu mengenal berbagai hal yang ada di sekitarnya. Kenyataan seperti ini menyebabkan timbulnya anggapan bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh melalui penginderaan atau pengalaman yang konkrit. Sebagai contoh: manusia tahu bahwa es dingin, hal tersebut dikarenakan manusia itu menyentuhnya, gula manis terasa karena ia mencicipinya.[5]
Pengetahuan inderawi bersifat parsial, yang disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas psikologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Setiap indera menangkap aspek yang berbeda dari barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada skabilitas organ-organ tertentu.[6]
Jenis pendekatan inderawi ini belum mempunyai dasar objektif yang kokoh. Contohnya seperti warna, suara, rasa dan lain-lain. Semua objek tersebut tidak termuat secara esensial didalam benda material. Unsur-unsur objek tersebut hanyalah sensasi yang disebabkan oleh kulitas-kualitas primer manusia dan tidak memiliki dasar objektif yang sama. Semua sensasi (warna, suara, rasa) akan lenyap dan berhenti apabila tanpa adanya mata yang melihat sinar atau warna, atau tanpa adanya telinga yang mendengar suara.[7] Adapun secara lebih lanjut, kelemahan inderawi manusia adalah dapat keliru dalam melakukan pengamatan, maka dari itu fakta atau data pun tidak selamanya menampakkan diri sebagaimana yang ditangkap oleh indera.[8]
d.      Pendekatan Akal
Cara lain untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan mengandalkan akal. Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan rasional. Dalam hal ini, manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir, sehingga dengan kemampuannya tersebut manusia dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu, yang pada akhirnya sampai pada kebenaran, yaitu kebenaran akal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya.
Secara istilah, akal dapat digunakan dalam beberapa hal, yaitu untuk menunjukkan kemampuan untuk mengetahui sesuatu, kemampuan membedakan kebaikan dan keburukan yang dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal yang mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat mencegahnya, kemampuan dan keadaan yag terdapat dalam jiwa manusia yang mengajak kepada kebaikan dan keuntungan dan menjauhi kejelekan dan kerugian, kemampuan yang bisa mengatur kehidupan manusia. Jika sesuai dengan hukum dan dipergunakan untuk hal-hal yang dianggap baik oleh syariat, maka itu adalah akal budi. Tetapi ketika digunakan untuk melakukan hal-hal yang menentang syariat, maka disebut nakra` atau syaithan.
e.       Pendekatan Hati
Secara biologi, hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh. Ia terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino.[9]
Menurut Tasmara bahwa hatilah yang menjadi pemimpin spritual kita yang terdiri dari potensi akal (fu'ad), potensi kesadaran emosi (shard) dan potensi dorongan (hawaa). Hati nurani adalah pusat dari ketiga potensi tersebut. Fu'ad tugasnya adalah berpikir, menganalisis, berinovasi, dan mengambil keputusan. Shard potensinya ialah untuk merasakan suasana emosi (empati), kerja sama dan saling menghormati, sedangkan Hawaa adalah dorongan atau keinginan yang seringkali melumpuhkan potensi lainnya. Oleh karena itu, pendekatan dengan hati dalam dunia keilmuan merupakan pendidikan yang tertinggi nilai keampuhannya.[10]
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan hati dalam epistimologi Islam suatu upaya pengembangan hati dalam mencari kebenaran ilmu. Pendekatan hati juga dilatarbelakangi oleh pandangan tentang keterbatasan akal manusia untuk menangkap realitas. Dengan demikian pendekatan hati ini setidaknya dapat ditempuh melalui beberapa tahap, yaitu:
1.      persiapan; untuk bisa menerima limpahan pengetahuan manusia harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual.
2.      penerimaan; jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme seseorang akan mendapatkan limpahan langsung dari Tuhan secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak, sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri sebagai objaek yang diketahui.
3.      pengungkapan terhadap apa yang sudah diperoleh (lisan ataupun tulisan).
      3.      Proses Pengembangan setiap Potensi
Setelah mengetahui makna dari setiap pendekatan potensi yang dapat memberikan kebenaran ilmu pada setiap manusia, maka selanjutnya ialah mesti adanya suatu upaya pengembangan terhadap setia potensi-potensi tersebut. Hal ini bertujuan agar potensi yang sudah ada tersebut tidak terkesan sia-sia ataupun tidak bermanfaat dalam kehidupan yang terus mengalami perubahan.
Upaya pengembangan dan pengkombinasian potensi juga merupakan suatu tanggungjawab mulia yang mesti dijalani oleh manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Agar segenap ilmu yang telah diciptakan oleh Tuhan dapat terketahui dan difungsikan secara maksimal, baik untuk kebaikan hidup di dunia maupun untuk kebaikan hidup diakhirat.  
  
C.    Penutup
Perpaduan antara segala potensi mesti dikedepankan, agar kesejatian ilmu dapat kita peroleh dengan benar. Hal ini tidak lain bahwa sesungguhnya kita adalah makhluk yang telah diciptakan oleh Tuhan Swt dengan bentuk yang paling baik dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dimana manusia di samping memiliki hidayah fitriyah dan khawasyiyah, juga diberi hidayah ‘akliyah. Dengan akalnyalah manusia dapat menaklukkan binatang buas, dapat mengolah tanah dan sebagainya. Namun tidak semua yang diusahakan manusia itu berhasil karena ada hidayah Allah yang lebih tinggi yaitu hidayah diniyah (agama). Namun tidak semua manusia menerima ajaran agama, banyak pula manusia yang mendustakan-nya.
Meskipun demikian, melalui potensi indera, akal, hati dan wahyu yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia, maka manusia tersebut akan dapat memperoleh keimanan dan pengetahuan, sehingga derajat yang tinggi disisi Tuhan yang Maha Kuasa juga akan ia dapatkan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Mujahadah ayat 11 yang artinya, “Dan apabila dikatakan kepadamu, berdirilah, maka hendaklah kamu berdiri, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Dengan iman dan ilmu manusia diharapkan mampu mengendalikan dirinya. Iman dalam Islam itu merupakan cahaya dan ilmu pengetahuan sebagai mata. Mata tanpa cahaya akan gelap tidak dapat menembus hakikat suatu benda. Dan cahaya tanpa mata tentunya tidak akan terasa oleh manusia manfaatnya.
Demikian pembahasan ini penulis uraikan secara sederhana. Kritikan dan saran sangat penulis harapkan, agar kesejatian ilmu dapat kita wujudkan. Semoga bermanfaat.



Daftar Pustaka
Sumber Buku
Kartanegara, Mulyadi. 2003. Pengantar Epistimologi Islam. Bandung: Mizan 
Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nata, Abuddin. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada.
Sudarminta. 2002. Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat Pendahuluan. Yogyakarta: Kanisus.
Watloly, Aholiab. 2001. Tanggungjawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistimologi Secara Kultural. Yogyakarta: Kanisius.
Wattimena, Reza A.A. 2008. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta: Grasindo. Hal. 29-30.

Sumber Internet
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hati
Http://zhalabe.blogspot.com/2012/03/Pendekatan Hati dalam Mendidik. Html.





[1] Hasyimsyah Nasution. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hal. 81 
[2] Reza A.A Wattimena. 2008. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta: Grasindo. Hal. 29-30.
[3] Sudarminta. 2002. Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat Pendahuluan. Yogyakarta: Kanisus. Hal. 18-19.
[4] Abuddin Nata. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada. Hal. 42-43.
[6] Ibid.
[7] Aholiab Watloly. 2001. Tanggungjawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistimo-logi Secara Kultural. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 142.
[8] Mulyadi Kartanegara. 2003. Pengantar Epistimologi Islam. Bandung: Mizan. Hal. 21.
[9] Http://id.wikipedia.org/wiki/Hati
[10] Http://zhalabe.blogspot.com/2012/03/Pendekatan Hati dalam Mendidik. Html.

Problem-problem Epistemologi dalam Filsafat Agama


Setelah mengetahui dan memahami makna epistimologi, filsafat dan agama baik secara terpadu ataupun terpisah, maka tidak dapat terpungkiri bahwa ada saja permasalahan-permasalahan yang muncul didalamnya. Adapun perihal yang ingin dibahas sekarang adalah masalah epistemologi dalam filsafat agama.
Telah terketahui bahwa secara sederhana epistemologi adalah teori pengetahuan. Dalam hal ini ia membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi yaitu pertama apa yang dapat diketahui (teori dan isi ilmu), dan yang kedua bagaimana mengetahuinya (metodologi).
Pengkajian terhadap epistemologi dalam filsafat agama sangatlah penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif yaitu “Kangker Epistemologi”. Kangker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (Critical Power), serta telah mengakibatkan kegagalan akal (Intelellectual failure), yang pada pada gilirannya dapat mengerogoti keyakinan sehingga menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengindap kangker ini diantaranya suka berkata: Di dunia ini, kita tidak pernah tahu kebenaran absolute, yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan kecil, kebenaran itu relative, agama itu mutlak sedangkan pemikiran keagamaan itu relative, semua agama benar dalam porsinya masing-masing dan yang lainnya.
Proses awal munculnya ungkapan-ungkapan tersebut dapat terketahui melalui perkembangan zaman Yunani Kuno. Pada zaman ini terlahir suatu aliran yang bernama sofisme. Menurut kaum ini, semua kebenaran itu relative dan ukuran kebenaran ialah manusia (man is the measure of all things). Hal ini dikarena manusia itu berbeda-beda, sehingga kebenarannya pun berbeda-beda. “Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak”, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis. Adapun akibat yang ditimbulkan ialah terjadi semacam kekacauan kebenaran yaitu semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama dicurigai, sehingga manusia hidup tanpa pegangan kebenaran dan hal itu telah menyebabkan manusia terasing didunianya sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul pula pendapat Socrates yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles yang mengatakan bahwa tidak semua kebenaran itu relative tetapi ada kebenaran umum yang mutlak benar bagi siapapun, yaitu kebenaran idea dan definisi. Kemudian muncul lagi sofisme klasik yang terlahir kembali pada zaman modern dengan nama skeptisisme. Seorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Bagi mereka pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i[1] dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap yang lebih ekstrim mereka mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa di cari dan di dekati, tetapi mustahil untuk ditemukan.
Setelah kaum skeptis, kemudian muncul pula kaum relativis, yaitu kaum yang menganggap bahwa semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Sehingga jika skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralisme agama.
Inti dari ketika golongan tersebut (sofisme, skeptisme, dan relativisme) menyebutkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, maka dalam berbagai tempat Allah Swt. mengingatkan bahwa hidup ini akan selalu ada dua pilihan, yaitu haqq dan bathil, Benar (shawab) dan keliru (Khata’). Sehingga dalam hal ini mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Suatu ilmu dapat diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Jujun S Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama, mendasarkan diri kepada rasio (logis) dan kedua, mendasarkan diri kepada pengalaman (empiris). Kerjasama rasionalisme dan empirisme akan melahirkan metode sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Kemudian, kerjasama antara rasionalisme dan empirisme ini juga dapat melahirkan paham positivisme, yaitu paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat terukur, seperti panas di ukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan meteran, dan berat di ukur dengan timbangan.
Selanjutnya, selain pengetahuan rasionalisme dan empirisme terdapat pula pengetahuan yang lain yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah secara tiba-tiba ia menemukan jawaban atas permasalahan tersebut, tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku. Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya disetiap zaman.
Menurut Jujun, Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian. Pengetahuan ini berdasarkan kepercayaan akan hal-hal yang ghaib (supranatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis dan empiris.
Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh- tokoh agama; di dalam Islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya bersih, maka ia telah bersiap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih fokus pada ilham yang diturunkan Allah Swt. kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.
Pemikiran al-Nasafi juga menyatakan bahwa terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shaqiq). Sedangkan menurut ibnu Taimiyyah, terdapat tiga yang pokok dalam saluran-saluran pengetahuan yaitu khabar, akal dan indera yang kemudian dibagi lagi kepada indera lahir (panca indera) dan indera bathin (intuisi hati).
Menurut Ibu Thufail terdapat dua jalan dalam objek pengetahuan yaitu wahyu dan filsafat dengan menggunakan akal sebagai pengolahnya dan panca indera yang menangkap sumber pengetahuan dari pengalaman.[2]
Menurut Al-Ghazali, sumber pengetahuan ada tiga yaitu panca indera, akal dan wahyu (intuisi). Akan tetapi dalam hal ini Al-Gahazali lebih menekankan kepada intuisi dalam menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya yaitu kenenaran yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.[3]
Al-Ghazali membagi ilmu dari aspek tujuan pada syar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Syar’iyyah adalah yang berasal dari Nabi, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu bahasa. Kemudian Ibnu Taimiyyah membagi ilmu kepada dua aspek yaitu Syar’iyyah adalah yang berurusan dengan agama dan ketuhanan dan ghair syar’iyyah adalah yang tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula disyaratkan olehnya. Semen-tara menurut Oliver Leaman membagi ilmu menjadi dua pula yaitu alam syahadah adalah alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam (nyata), dan alam ghaib adalah alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekedar pengetahuan proposisional. Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi kekacauan ilmu. Ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah kesalahan, melainkan sebagai pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof muslim di abad pertengahan.




[1] Qath’I adalah sesuatu yang sudah pasti (Mudlar Zuhri Ahmad. 2003. Kamus Krapyak Al-’Ashri. Jogjakarta: Multi Karya Grafika. Hlm. 1463)
[2] Hasyimsyah Nasution. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Cet 4. Hlm: 111.
[3] Hasyimsyah Nasution. 2005. Filsafat Islam. Ibid. Hal. 81 

Konsep Epistemologi Ziauddin Sardar

Makalah Ini Dipresentasikan oleh Kelompok VI [Nazari Mahda, Nana Efriani, dan Salmiaton Sa'diah] pada Selasa, 08 Desember 2014, di Ruang Perkuliahan Epistemologi Islam II Prodi Ilmu Aqidah. USH.UINAR.

A. PENDAHULUAN
Kehausan ilmu merupakan suatu kewajaran dalam suatu peradaban. Kehausan tersebut telah diisi oleh potensi-potensi yang beragam. Keberagaman potensi terus berkontribusi dalam memunculkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kunci yang paling mendasar dalam kemajuan umat manusia. Namun demikian, kemajuan tersebut tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah yang dikenal dengan istilah epistemologi.[1]
Menurut The Liang Gie yang termuat di dalam karya tulis Abdul Gaffar, mendefenisikan bahwa: “Epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, sampai soal kebenaran”.[2]  Kemudian secara lebih lanjut Gaffar juga mengutip pendapat Ahmad Tafsir yang menurutnya epistemologi merupakan studi yang membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.[3]
Berlandaskan pada pendapat dari kedua tokoh tersebut, maka segala ragam ilmu telah dapat diketahui dengan pasti. Begitu banyaknya konsep-konsep ilmu yang telah dicetuskan oleh para pecinta kebenaran. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk tidak bertindak sesuai dengan kebenaran-kebenaran.
Kemudian, agar dapat bertindak secara benar maka dibutuhkan juga pembahasan secara mendalam terhadap konsep-konsep ilmu yang ada. Jawaban akan hal ini kiranya akan dapat terperoleh pada uraian  “Konsep Epistemologi menurut Ziauddin Sardar” yang terdapat di dalam makalah yang sederhana ini. Sebagai salah satu strategis untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan secara benar, maka mempelajari lebih serius tentang berbagai konsep ilmu pengetahuan ini sangatlah penting.

B. BIOGRAFI

Ziauddin Sardar adalah seorang pemikir muslim dan penulis produktif kelahiran Pakistan pada 1951. Pemikiran Ziauddin Sardar tentang peradaban Islam sebenarnya telah ada pada tahun 80-an, di mana ia mencetuskan karyanya yang berjudul The Future of Muslim Civilization dan diterbitkan di Malaysia pada 1988 yang dilanjutkan dengan karya lainnya yang berjudul Islamic Futures, The Shape of Ideas to come. Namun, karena berbagai hal maka belum banyak orang yang mengetahui dan mengelaborasikan setiap pemikirannya.[4]
Ziauddin Sardar adalah intelektual muslim yang juga Penulis dalam pemikiran Islam kontemporer, sains, dan juga seorang kritikus budaya. Kemudian ia juga termasuk salah satu penulis Islam progresif. Sardar pernah menjadi fenomena tersendiri dalam intelektualisme Islam pada era 1980-an, bersama dengan Parvez Manzoor, Gulzar Haider, atau Munawar Ahmad Anees. Mereka mempelopori munculnya suatu gerakan kesarjanaan baru kaum muslimin di Barat. Dimana dalam gerakan tersebut mereka telah memadukan tradisi intelektualisme dan aktivisme. Sardar menilai Islam harus di rekonstruksi sebagai peradaban, karena hanya dengan itu Islam bisa terwujud sebagai manifestasi kebudayaan dan nilai-nilainya sendiri sebagai perangkat keras dari pengalaman sejarahnya, sebagai instrumen pragmatis dari sistem filsafatnya atau singkatnya sebagai manifestasi eksternal dari pandangan dunia nya.[5]

C. EPISTEMOLOGI ZIAUDDIN SARDAR

Konsep epistemologi yang dicetuskan oleh para tokoh, pada umumnya tidak memiliki perbedaan yang berarti. Gagasan-gagasan yang mereka munculkan terkadang bukan hal yang baru, tetapi sering sekali terdiri dari gagasan tokoh-tokoh sebelumnya. Namun tidak berarti pula gagasan tersebut kurang bagus untuk diterapkan dimasa hidup tokoh yang bersangkutan. Setiap gagasan lama tersebut terkadang sangat bernilai untuk diterapkan kembali dengan berbagai rekonstruksi-rekonstruksi.
Hal semacam ini dapat terlihat langsung dari berbagai konsep epistemologi yang dimunculkan oleh Ziauddin Sardar, baik di dalam karya-karyanya maupun dalam karya tulis tokoh lain. Menurut Ziauddin Sardar yang termuat di dalam jurnal Suqiyah Musyafa’ah menjelaskan bahwa:
“Epistemologi adalah titik pusat dari setiap pandangan dunia. Dia menjadi parameter yang menentukan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin di dalam bidang Islam, apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui, apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik dihindari, dan apa yang sama sekali tidak mungkin untuk diketahui. Epistemologi berusaha untuk mendefinisikan pengetahuan, membedakan variasi-variasi utamanya, menandai sumber-sumbernya, dan menentukan batas-batasnya”.[6]

Berdasarkan pada pengertian epistemologi tersebut, maka secara lebih lanjut Sardar menjelaskan pula bahwa ilmu merupakan alat penentu terbaik bagi orang-orang muslim dalam memandang realitas, membentuk, dan mengembang-kan suatu masyarakat yang adil. Ilmu adalah perekat yang mengikat masyarakat muslim dengan lingkungannya. Ia memberi Islam suatu bentuk yang dinamis dan hidup. Kemudian ilmu harus diposisikan sebagai konsep, landasan tegaknya pondasi peradaban muslim, dan suatu nilai yang mencakup kesemuanya.[7]
Berkaitan dengan konsep epistemologi Islam. Maka selain dari Sardar, Miska Muhammad Amien juga menjelaskan bahwa Epistemologi adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah objektifitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subjek Islam sebagai titik tolak berpikirnya.[8]  Secara tidak langsung, teori epistemologi Islam yang semacam ini mengisyaratkan kepada pelajar Islam untuk mempelajari dan mengimplentasikan kitab pedoman secara komprehensif di dalam setiap persoalan kehidupan.
Berbicara tentang epistemologi saja sangatlah umum. Dimana ia mencakup seluruh konsep yang dicetuskan oleh setiap golongan manusia. Dengan demikian, langkah untuk mengkhususkannya ialah dengan melihat konsep epistemologi Islam itu sendiri. Diantara begitu banyaknya konsep, maka menurut Ziauddin Sardar, ciri dasar epistemologi Islam ialah berlandaskan pada pedoman mutlak; bersifat aktif dan deduktif; memandang objektivitas sebagai masalah umum; memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang objektif; berusaha menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman yang dapat menumbuhkan komitmen dan nilai-nilai dasar didalam diri penganutnya”.[9]
Adapun secara kontemporer, di dalam karya Mujamil Qomar dijelaskan bahwa Ziauddin Sardar berpandangan bahwa perumusan karakter epistemologi Islam tidak dapat dimulai dengan menitik beratkan pada disiplin-disiplin ilmu yang sudah ada, tetapi dengan mengembangkan paradigma-paradigma peradaban muslim, seperti sains dan teknologi, politik dan hubungan internasional, struktur-struktur sosial dan kegiatan ekonomi, perkembangan desa dan kota. Dan semua itu dapat dipelajari dan dikembangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan realitas kontemporer.[10] 
Diantara upaya pengembangan tersebut ialah media informasi. Menurut Sardar, informasi merupakan kekuasaan, tanpa informasi seseorang tidak memiliki kekuasaan. Jika informasi dibolehkan mengalir secara bebas dalam masyarakat, maka ia akan memberikan jalan ke arah kekuasaan kepada masya-rakat yang terbelakang, serta akan mencegah konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang.[11]
Berkesinambungan dengan epistemologi yang dikonsepkan oleh Sardar, maka menurut Hasani Ahmad Said epistemologi Sardar ini mengarah pada rekonstruksi peradaban Islam. Karena menurut Sardar, “Islam dan masyarakat muslim menyerupai suatu bangunan yang sangat indah tetapi kuno, yang pada tahun-tahun sulitnya sekarang ini, membutuhkan banyak biaya untuk pemugarannya. Fondasinya begitu kuat, tetapi penembokannya butuh pertahan mendesak. Kita perlu merekonstruksi peradaban muslim, sebab jika tidak, batu-batu akan tumbang dan runtuh satu persatu”.[12]
Terkait dengan ungkapan Sardar tersebut, dalam karya tulisnya Hasani Ahmad Said berpendapat bahwa:
“Perlu adanya upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara keselu-ruhan terhadap pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengalami perkembangan dan kemajuan. Kepada umat Islam harus diberikan pemahaman yang komprehensif tentang perhatian Islam yang begitu dalam akan pandangan keduniawian, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahwa akhirat itu lebih kekal, oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan, tidak berarti harus menafikan dunia. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapan Islam perlu disosialisasikan lebih intens kepada umat Islam sehingga umat Islam tidak hanya fasih dalam ibadah saja, tapi juga mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diungkapkan Sardar dengan istilah perluasan syariah ke dalam domain-domain kontemporer, seperti perencanaan lingkungan dan perkotaan, kebijakan sains dan penaksiran teknologi, partisipasi masyarakat, dan pembangunan pedesaan”.[13]
Bahasan tentang epistemologi Islam yang menurut Sardar perlu di rekonstruksi secara serius mencakup beberapa hal, yaitu:[14]
  1. Pembangunan peradaban melalui pertumbuhan ekonomi masyarakat;
  2. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi;
  3. Pembangunan ini tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan kebijaksanaan Negara-negara maju;
  4. Proses industrialisasi tidak hanya mencangkok aktivitas-aktivitas industrial tertentu dari negara-negara maju, ia juga harus disertai dengan penguasaan teknologi;
  5. Tidak semata-mata alih teknologi, tetapi juga dengan membangun infrastruktur sains dan teknologi yang berupa sumber daya manusia (SDM) ilmu pengetahuan, keahlian, dan kemampuan inovatif dan produktif untuk menyerap dan menghadapi teknologi impor;
  6. Memiliki kemampuan dasar untuk riset dan tidak puas hanya dengan literatur sains negara-negara maju.
Secara lebih kongkrit, Sardar berpendapat bahwa proyek rekonstruksi peradaban Islam ini dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai dan konsep Islam untuk pengembangan ilmu pengetahuana dan teknologi. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di sini adalah pengembangan teknologi dengan menguasai teknologi informasi dan media masa seperti radio dan televisi serta perangkat yang mendukungnya. Adapun langkah realisasinya umat Islam perlu mengembangkan Sistim Informasi Nasional (SIN) yang mencakup:[15]
  1. Perpustakaan nasional; suatu penyimpan semua publikasi nasional dan bertugas menghimpun semua dokumen yang mungkin diperlukan untuk riset dan kegiatan-kegiatan intelektual lainnya.
  2. Pusat-pusat informasi nasional untuk bidang-bidang informasi ilmiah, informasi teknologis dan industrial, medis, pertanian, bisnis dan lain-lain;
  3. Pusat alih informasi untuk pertukaran informasi nasional, seperti telepon-telepon yang menghubungkan para ilmuan dan sarjana terkait dengan kegiatan-kegiatan intelektual seperti seminar, penelitian, dan lain-lain;
  4. Lembaga standar nasional, untuk upaya-upaya standarisasi kuantitas, kualitas, pola, metode dan satuan-satuan pengukuran dalam sains, teknologi, industri dan kedokteran.
Dalam hal ini diperlukan para “penjaga gawang” informasi yang selain bertugas membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Islam, tetapi juga mengkritisi sumber-sumber informasi yang datang dari luar Islam. Sardar, mengilustrasikan para penjaga gawang ini dengan Janus, dewa penjaga pintu Romawi. Terkait dengan masalah pengembangan informasi ini, perlu diupayakan pula secara intensif kerjasama di antara negeri-negeri muslim dengan membangun Jaringan Informasi Muslim Internasional (JIMI). Hal ini menjadi penting seperti yang diuraikan Sardar kedalam tiga hal, yaitu:[16]
  1. Kesatuan iman, akidah, warisan budaya, perkembangan peradaban, dan kesamaan struktur politik ekonomi;
  2. Kesatuan blok negeri-negeri muslim sebagai negara-negara berkembang yang memiliki kepentingan-kepentingan, problem-problem dan tantangan-tantangan yang sama dalam program pembangunan mereka;
  3. Ada wilayah-wilayah tertentu yang merupakan perogatif khas dunia muslim.
D. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan tentang konsep epistemologi Ziauddin Sardar yang telah terdapat di dalam bab pembahasan, maka dapat penulis simpulkan bahwa:
Bagi Ziauddin Sardar, epistemologi Islam perlu direkontruksi sesuai dengan perkembangan peradaban. Kemampuan masyarakat terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi perlu di tingkatkan melalui pensosialisa-sian secara konfrehensif dari berbagai pihak, yaitu pihak yang tentunya ahli di dalam bidangnya.
Alquran dan Hadist di dalam agama Islam merupakan landasan ataupun pedoman yang mesti dipelajari dengan penuh kesadaran. Setiap keterangan yang terdapat di dalamnya mesti di teliti secara khusus (sabjektif). Agar setiap yang diteliti tersebut dapat meningkatkan komitmen ataupun keyakinan terhadap Islam. 
Demikianlah konsep epistemologi Ziauddin Sardar yang dapat penulis paparkan. Berkaitan dengan ruang lingkup pembahasan dan teknis penulisan yang mungkin terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, maka penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga bermanfaat. Terimakasih.

E. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Said, Hasani. Dalam http://hasaniahmadsaid.blogspot.com/2013/03/rekonstruksi-peradaban-islam-meretas.html.
Aly Arfan, Aip. Rekonstruksi Peradaban Islam dalam Pandangan Ziauddin Sardar, dalam http://aip-aly-arfan.blogspot.com/2013/02/html.
Gaffar, Abdul. Epistimologi Bayani, Burhani, dan Irfani, dalam http://sanadth-khusus.blogspot.com/2011/09/epistemologi-bayani-burhani-dan irfani.htm   
Musyafa’ah, Suqiyah. Epistemologi Quran dalam Pemetaan Keilmuan Islam Indonesia, dalam http://202.154.59.182/ejournal/files/pdf.
Misbah, Daqoiqul. Epistemologi, dalam http://daqoiqul.blogspot.com/2013/01/    epistemologi.html.
Nia, Nanika. Review Buku, dalam http://nanikania5.blogspot.com/2012/10/ fairy-jihad-intelektual-merumuskan-parameter.html.
Nur Astiwi, Putri. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2011, dalam http://www. pnri.go.id/MajalahOnlineAdd.aspx?id=165.
Qomar, Mujamil. 2006. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritis. Jakarta: Penerbit Erlangga.

  1. Abdul Gaffar, Epistimologi Bayani, Burhani, dan Irfani, dalam http://sanadthkhusus. blogspot.com/2011/09/epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani.html, diakses: 01/12/2014. 10:32.
  2. Ibid.
  3. Ibid.
  4. Aip Aly Arfan, Rekonstruksi Peradaban Islam dalam Pandangan Ziauddin Sardar, dalam http://aip-aly-arfan.blogspot.com/2013/02/html, apload pada 01/12/14, 11:08 wib.
  5. Nanika Nia, Review Buku, dalam http://nanikania5.blogspot.com/2012/10/ fairy-jihad-intelektual-merumuskan-parameter.html, di akses pada tanggal 06 Desember 2014, 12:18 wib. 
  6. Suqiyah Musyafa’ah, Epistemologi Quran dalam Pemetaan Keilmuan Islam Indonesia,  dalam http://202.154.59.182/ejournal/files/pdf, apload pada tanggal 01/12/2014, 10:15. Hal. 02. 
  7. Ibid. Hal. 03.
  8. Daqoiqul Misbah, Epistemologi, dalam http://daqoiqul.blogspot.com/2013/01/epis- temologi.html, apload pada tanggal 05 Desember 2014, 11:02 wib.
  9. Ibid.
  10. Mujamil Qomar, 2006, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritis. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 169.
  11. Putri Nur Astiwi, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2011, dalam http://www. pnri.go.id/MajalahOnlineAdd.aspx?id=165, apload tanggal 07 Desember 2014, 22:31 wib.
  12. Hasani Ahmad Said, dalam http://hasaniahmadsaid.blogspot.com/2013/03/rekonstruksi -peradaban-islam-meretas.html, apload tanggal 07 Desember 2014, 22:45 wib. 
  13. Ibid.
  14. Ibid.
  15. Ibid.
  16. Ibid.
KEJUJURAN BERAWAL DARI KESADARAN HARGA DIRI. SUNGGUH JUJUR TIDAK RUGI.

Krisis Keimanan

Ilmu merupakan petunjuk yang diberikan oleh Allah Swt. kepada setiap manusia menurut tingkat keimanan dan usaha yang dilakukan. Keimanan terhadap Allah Swt. merupakan jati diri yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian ilmu. Keduanya akan saling mengisi, baik dalam meningkatkan keimanan maupun dalam meningkatkan ilmu. Namun di masa sekarang ini, suatu ilmu pengetahuan sudah tidak lagi dijadikan sebagai tujuan untuk meningkatkan keimanan. Setiap pembelajaran ilmu hanya dijadikan sebagai pencitraan gelar, peningkatan gaji, dan hanya sebagai persyaratan akademik disuatu program studi tertentu.
Kondisi pencapaian ilmu pengetahuan semacam ini sudah menjadi kebiasaan diberbagai kalangan. Terutama dari kalangan masyarakat yang berkecimpung dalam bidang pendidikan. Unsur-unsur nepotisme dan plagiasi telah tumbuh subur di dalam bidang yang satu ini. Kebiasaan tersebut dianggap sebagai suatu kewajaran yang dapat membuat masa depan pribadi, orang lain, ataupun fungsi lembaga menjadi lebih baik. Tetapi kenyataan yang berlaku malah sebaliknya. Masih banyak para lulusan pendidikan yang kurang siap dengan bidangnya ketika terjun ke dunia kerja. Sehingga tatacara korupsi, kolusi dan nepotisme akan senantiasa dijadikan sebagai langkah jeniusnya.
Secara tidak langsung, penyelesaian beban studi yang tidak sesuai dengan prosedur akademik merupakan awal dari suatu kebodohan yang akan dijalani pada hari-hari berikutnya. Persoalan yang akan dialami di masa depan memang bukan suatu hal yang pasti. Segala sesuatunya merupakan ketentuan dari Allah Swt, baik yang telah terjadi, akan terjadi, maupun yang belum terjadi. Namun sekarang ini banyak pihak yang meremehkan dan melawan segala ketentuan, baik itu ketentuan yang bersumber dari Allah Swt. maupun segala ketentuan dari kesepakan potensi mereka sendiri. Sudah banyak sekali unsur-unsur kehidupan yang mereka zalimi dengan berbagai kepentingan dan janji. Sedangkan tujuannya terkadang hanya untuk memperoleh kekuasaan, keuntungan, pujian, ataupun penghargaan. Hal ini semakin membuka peluang kepada mereka untuk mengimplementasikan perilaku-perilaku tercela ke dalam segala sektor.
Kenyataan ini sangatlah berseberangan dengan harapan dari berbagai konsep epistemologi yang telah dicetuskan oleh para tokoh Islam sebelumnya. Setiap konsep ideal yang telah dikemukakan belum mampu diimplementasi secara kongkrit dengan berbagai potensi yang ada, yaitu panca indera, akal, dan hati. Kemudian potensi-potensi ini tidak pula dikembangkan atau dikombinasikan dengan standar pedoman mutlak, yaitu wahyu Allah Swt. Serta masih banyak juga pengkombinasian antara setiap potensi yang semakin jauh dari kebenaran sejati, sehingga penyelesaian perkara-perkara yang dihadapi pun semakin sulit. 
Kondisi peradaban ilmu pengetahuan Islam yang terpuruk semacam ini tentunya bukanlah tujuan ideal yang diharapkan dari adanya studi epistemologi Islam. Setiap bidang ilmu pengetahuan akan senantiasa berguna dalam memajukan peradaban. Seperti yang telah dikemukakan oleh Ziauddin Sardar bahwa melalui ilmu pengetahuan manusia dapat menentukan bagaimana jalan yang terbaik dalam memandang realitas, membentuk, dan mengembangkan suatu masyarakat yang adil, dinamis dan hidup.[1]
Kemudian harapan yang sama juga telah banyak dicetuskan oleh para pemikir muslim, baik yang berkedudukan dibelahan dunia timur maupun barat. Salah satu diantaranya seperti kelompok Ikhwanul al-Shafa’ yang bermazhab Syi’ah Ismailiah dan berpusat di kota Basrah - Baghdad pada sekitaran tahun 958 M-983 M.[2] Menurut kelompok ini, pengetahuan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pengetahuan adab/sastra, pengetahuan syariat, dan pengetahuan filsafat. Terhadap pengetahuan filsafat, Ikhwanul al-Shafa’ membagi lagi menjadi empat bagian, yaitu pengetahuan matematika, logika, fisika, dan metafisika (ilahiah).[3] Secara jelasnya, bagi Ikhwanul al-Shafa’ pengetahuan syariat adalah pengetahuan yang paling mulia, yaitu pengetahuan yang telah disampaikan oleh para nabi melalui wahyu, sedangkan pengetahuan adab dan filsafat juga pengetahuan yang paling mulia tetapi setelah pengetahuan syariat, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui upaya jiwa dan akal secara mendalam.[4]
Demikian pula menurut seorang filsuf muslim pertama di kawasan barat, yaitu Abu Bakar Muhammad ibnu Yahya ibnu al-Sha’igh, yang lebih di kenal dengan nama Ibnu Bajjah.[5] Ia dilahirkan di Saragossa-Spanyol, pada akhir abad ke-5 H/ abad ke-11 M.[6] Bekaitan dengan konsep epistemologi Islam, Ibnu Bajjah percaya bahwa pengetahuan tidak hanya di peroleh lewat indera. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan universal tentang alam semesta juga dapat dicapai dengan bantuan akal aktif (aql fa’al).[7] Berbeda dengan teori ilhamnya Al-Ghazali, dalam teorinya Ibnu Bajjah menetapkan bahwa seseorang akan dapat mencapai puncak makrifat dan meleburkan diri pada akal-faal, jika ia telah terlepas dari keburukan-keburukan masyarakat, menyendiri, dan dapat memakai kekuatan pikirannya untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebesar mungkin, serta dapat memenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya.[8]
Berikutnya muncul pula suatu konsep epistemologi Islam dari seorang filsuf muslim kedua di kawasan barat yang berasal dari suku Qais,[9] tepatnya pada masa Daulah Muwahhidun (12 M – 13 M).[10] Namanya Abu Bakar Muhammad ibnu ‘Abd al-Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia lahir pada dekade pertama abad ke-12 M di Ouadix-Granada.[11] Konsep epistemologi yang dikembangkan oleh ibnu Thufail ialah kesesuaian antara pengalaman dengan nalar, dan kesesuaian antara nalar dengan intuisi.[12] Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa tingkatan ma’rifat dapat dimulai dengan pengalaman dan pengamatan pancaindera. Adapun hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Intinya, tingkatan ma’rifat dapat dicapai dengan dua cara, yaitu pemikiran atau perenungan akal, dan kasyf ruhani melalui latihan kesungguhan rohani.[13]
Dekade berikutnya muncul juga konsep dari Syihab al-Din Abu al-Futuh Yahya ibnu Habasy ibnu Amirak al-Suhrawardi.[14] Ia lahir di desa Suhrawardi, Aleppo-Suriah sekitar tahun 548 H/ 1153 M dan meninggal di Damsyik (Damascus) pada tahun 587 H/ 1191 M.[15] Adapun karya Suhrawardi yang sangat monumental dalam persoalan epistimologi adalah hikmah al-Isyraq (filsafat pencerahan).[16] Suhrawardi mendasarkan pengetahuannya pada illuminasi. Ia menggabungkan antara cara nalar dengan cara intuisi yang saling melengkapi. Jika nalar tanpa intuisi maka illuminasi tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional maka akan tersesat dan tidak dapat mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis.[17]
Adapun seiring dengan perkembangannya, segenap konsep tersebut tetap saja masih belum mampu diterapkan secara maksimal. Sehingga pada era kontemporer ini telah muncul juga konsep-konsep epistemologi Islam dari para pemikir Islam. Salah seorang diantaranya ialah Fazlur Rahman. Fazlur Rahman dikenal sebagai seorang neo-modernis yang liberal dan radikal dalam peta pembaharuan Islam. berkaitan dengan konsep epistemologi Islam, Fazlur Rahman menawarkan metodologi yang terdiri dari perbedaan yang tegas antara Islam normatif dan Islam historis, yaitu metode hermeneutika dan metode kritik sejarah.[18]
Berdasarkan catatan Nasaiy Azis, metode perolehan ilmu Fazlur Rahman dapat terpahami dari beberapa pernyataannya bahwa Al-Qur’an merupakan respon ilahi melalui pikiran nabi terhadap situasi-situasi sosio-moral dan historis masa nabi. Suatu ajaran yang kepastian pemahamannya terdapat pada al-Qur’an secara keseluruhan. Sebuah buku prinsip dan seruan moral, serta bukan sebuah dokumen hukum. Bersifat deskriptif (penggambaran) dan preskriptif (memberikan ketentuan) bagi manusia.[19]
Selain dari konsep epistemologi Islam yang telah dicetuskan oleh Fazlur Rahman. Konsep epistemologi Islam juga telah dicetuskan oleh Muhammad Arkoun. Konsep epistemologi Islam yang ditawarkan oleh Muhammad Arkoun dapat terpahami dari metode kritik historis-analisis arkiologis yang digagasnya. Menurut Arkoun, umat Islam harus melakukan analisis kritis terhadap implikasi kondisi darurat, terutama pada aspek sosial, ekonomi dan politik. Baik yang menimpa warisan intelektual Islam awam maupun masyarakat kontemporer. Tujuannya ialah agar umat Islam dapat berbuat lebih dari sekedar meniru temuan terdahulu.[20]
Menurut catatan Nasaiy Aziz, ilmu pengetahuan dalam perspektif Arkoun dapat diperoleh melalui penafsiran yang mencermati keterkaitan dimensi bahasa pemikiran dan sejarah. Adapun langkah pertama dalam melakukan suatu penafsiran adalah membedakan teks yang pertama (pembentuk) dan teks hermeneutika (produk tafsir). Sedangkan langkah selanjutnya ialah dengan menggunakan analisis arkeologis, yaitu melakukan klarifikasi sejarah terhadap teks-teks hermeneutika dari tradisi pemikiran tertentu. Sehingga akan terlihat hubungan antara teks-teks dari fase sejarah tertentu dengan kondisi sosial, generasi dan aliran-aliran pemikiran yang beragam dari kurun waktu yang sama.[21]
Kelanjutan dari epistemologi Muhammad Arkoun tertuang pula ke dalam konsep epistemologi yang ditawarkan oleh Hasan Hanafi. Secara khusus Hasan Hanafi mengistilahkannya dengan masa lampau dan masa kini, atau antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern.[22] Menurut Hasan Hanafi, hermeneutika pembebasan dalam kehidupan sosial keagamaan diperlukan sebagai alat untuk membaca tradisi dalam kepentingan revolusi, dan sebagai kebenaran dalam menafsirkan masa lampau untuk kepentingan masa yang akan datang.[23] Ataupun sebagai ilmu interpretasi, alat untuk menafsir, alat untuk memahami, dan alat untuk menjalankan.[24]
Berbagai metode perolehan ilmu pengetahuan yang telah dicetuskan ini akan menjadi solusi terbaik dalam memajukan peradaban terkini. Namun kesadaran untuk mempelajari dan mengembangkannya sudah tidak lagi dianggap penting. Perbedaan demi perbedaan telah dijadikan sebagai jurang pemisah antara masing-masing kemampuan. Kemampuan indera dianggap tidak berhubungan sama sekali dengan akal dan hati dalam mengamati berbagai fenomena alam. Demikian pula sebaliknya, antara akal dan hati tidak berhubungan dengan panca indera. Padahal seperti yang telah disebutkan oleh al-Ghazali bahwa ada tiga tahapan peroleh ilmu pengetahuan, yaitu melalui panca indera, akal, dan pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya, yaitu pengetahuan intuitif atau pengetahuan yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.[25] Tingkat epistemologi ini menurut Sudarminta, dapat dipahami sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis.[26] Berbagai kemampuan manusia yang berperan dalam epistemologi Islam merupakan suatu pendekatan. Pendekatan yang dimaksud ialah cara pandang yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang digunakan dalam memahami segala yang ada.[27]
Setiap kemampuan yang ada tentunya memiliki perbedaan, namun bukan berarti tidak memiliki hubungan timbal balik. Perolehan suatu kebenaran ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh adanya hubungan erat antara setiap kemampuan. Kemudian setiap kemampuan tersebut mesti dijadikan sebagai solusi terhadap persoalan-persoalan sekarang ataupun masa depan. Seperti halnya gagasan lama yang berlaku dalam epistemologi Islam. Ada beberapa kebiasaan dalam epistemologi tersebut yang mesti direkonstruksi atau disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tujuannya ialah agar kondisi peradaban Islam tidak semakin terpuruk oleh kemajuan peradaban yang lain.
Adapun cara pencapaiannya sama dengan salah satu pernyataan Ziauddin Sardar bahwa kebangkitan peradaban Islam harus dilakukan secara dinamis, yaitu dengan penuh kesungguhan dalam mempelajari masa lampau dan masa kini. Serta dapat merencanakan masa depan secara jelas sesuai dengan keinginan.[28] Kemudian Ziauddin Sardar menegaskan pula bahwa perumusan karakter epistemologi Islam tidak hanya dimulai dengan menitikberatkan pada disiplin-disiplin ilmu yang sudah ada, tetapi juga dengan mengembangkan paradigma-paradigma peradaban muslim, seperti sains dan teknologi, politik dan hubungan internasional, struktur-struktur sosial dan kegiatan ekonomi, perkembangan desa dan kota. Semua itu dapat dipelajari dan dikembangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan realitas kontemporer.[29]




[1] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1991), 85.
[2] Dedi Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, Cet. II (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 100.
[3] Ibid, 102.
[4] Ibid.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), 185.
[6] Ibid, 185.
[7] Dedi Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam ..., 204.
[8] Ibid, 201.
[9] Mustofa, Filsafat Islam: untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, Adab, dan Ushuluddin, Komponem MKDK. Cet. I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 271.
[10] Dedi Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam ..., 211.
[11] Ibid, 212.
[12] Mustofa, Filsafat Islam: untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah ..., 278.
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya ..., 218.
[14] Mustofa, Filsafat Islam. untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah ...,  247.
[15] Dedi Sufriyadi, Pengantar Filsafat Islam ...,177.
[16] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2002), 129.
[17] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: GayaMedia Pratama, 1999), 154.
[18] Nasaiy Aziz, Penafsiran Al-Qur’an Kontemporer: Metode Penafsiran Bint Syati’ dan Fazlur Rahman, Editor: Lukmanul Hakim (Banda Aceh: Arraniry Press – NASA, 2012), 161.
[19] Ibid, 157-159.
[20] Ibid, 161.
[21] Ibid, 161-162.
[22] Hasan Hanafi, Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutika, Terj. Jajat Hidayatul Firdaus dan Neila Diena Rochman, cet. II (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), 129.
[23] Ibid, 130.
[24] Ibid, 135.
[25] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 81. 
[26] Sudarminta, Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat Pendahuluan (Yogyakarta: Kanisus, 2002), 18-19.
[27] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2000), 42-43.
[28] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim ..., 13.
[29] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 169.